Dingin. Hawa
dinginnya lebih dari kemarin. Sudah berkali-kali Marnu mencoba untuk bisa
tidur, tetapi selalu tak berhasil. Jaket dan selimut yang menutupi tubuh Marnu
serasa percuma. Tubuh Marnu menggigil. Kepalanya serasa dipalu-palu, pikirannya
buram. Pandangan matanya makin kabur. Sesak, udara serasa kian sulit untuk
dihirup.
Dengan susah payah Marnu
mencoba meraih telepon genggamnya yang berada di lantai, persis di sebelah kasurnya
yang tanpa dipan. Tidak sengaja tangan Marnu justru menyenggol cangkir
berisikan sisa kopi semalam. Kopi tumpah seketika, membasahi tumpukan baju yang
sudah dia setrika.
“Sialan!” ucap Marnu.
Kejadian tersebut
membuat Marnu melek. Terjaga sepenuhnya, Marnu membuka selimutnya. Bangkit dari
berbaring, ia duduk bersila di tepi kasur. Setelah sejenak melakukan pelemasan
pinggang dan leher, tanpa memedulikan baju-bajunya yang basah, ia mengambil
telepon genggamnya. Kali ini dengan mudah.
“Jam dua seperempat,”
ujarnya kepada diri sendiri, hanya di batin.
Perut Marnu tiba-tiba
terasa mual. Dengan perasaan malas, ia berdiri. Marnu berjalan terhuyung-huyung
menuju kamar mandi. Langkahnya lunglai.
Marnu memuntahkan hampir
seluruh isi perutnya di kakus. Setelah itu, sambil menyiram ia melihat pantulan
wajahnya di cermin yang terpasang di tembok di atas kakus. Dalam hatinya, ia
seperti melihat mayat hidup. Rambut acak-acakan. Kulit pucat pasi. Mata melorot
sayu, dengan kantung mata hitam di bawahnya. Mengerikan!
Satu hal pasti yang
menyebabkan Marnu tidak bisa tidur nyenyak, perutnya terasa mual dan wajahnya
yang tampak mengerikan: Marnu kehabisan kokain.
Selepas keluar dari
kamar mandi, Marnu memastikan sekali lagi stok kokain yang ia punya. Marnu
merogoh-rogoh saku celana jeansnya yang tergantung di balik pintu kamar.
Kosong. Lalu dipelototinya barang-barangnya di atas meja kecil di pojokan. Tak
ada. Yang ada di sana hanyalah dompet dan secarik kertas lusuh yang berisikan
daftar mingguan utang-utangnya kepada Asmuni, bandar narkoba kelas teri desa
sebelah, serta jam tangan kesayangan Marnu, hadiah pemberian dari mantan
pacarnya, Esti.
“Sialan!” teriak Marnu.
Frustasi, Marnu
menendang tumpukan baju bernoda hitam akibat kopi yang ditumpahkannya tadi. Ia
diambang ketakutan. Lebih dari itu, ia terancam oleh ketakutan terbesarnya:
sakau.
Marnu memulai menjadi
pecandu narkoba lima bulan yang lalu. Saat itu ia sedang mengembalikan
buku-buku tentang ternak ayam petelur yang ia pinjam dari Sentot, teman SD-nya
dulu, di rumah Sentot di desa sebelah. Kebetulan, Sentot sedang bersama Asmuni.
Seketika itu pula tanpa basa-basi, Asmuni menunjukkan produk unggulannya kepada
Marnu.
“Apa itu? Terigu?” tanyanya pada Asmuni.
“Bodoh kau! Ini
kokain,” potong Sentot.
Kemudian Asmuni
menjelaskan kegunaan bubuk putih yang dibungkus plastik transparan berbentuk
persegi panjang seukuran bungkus rokok tersebut kepada Marnu. Bubuk putih yang
bisa membuat pikiran seseorang melayang, suasana hati menjadi riang gembira,
dan rasa percaya diri meningkat. Asmuni menyodorkannya kepada Marnu. Marnu
bergeming. Ragu.
“Buat pemula gratis kok,” ucap Asmuni.
Gratis. Kata yang
paling disukai semua orang, termasuk Marnu. Dengan cepat ia menyambar bungkusan
tersebut. Dilihatinya, lalu dicium-cium. Tidak berbau pikir Marnu.
“Gimana cara pakainya?” tanyanya.
“Ah, gampang. Nanti
kuajarkan,” jawab Sentot.
Ya, sejak saat itulah
Marnu mengenal narkoba. Awal dari segala malapetaka yang menimpanya saat ini. Lima
bulan ia terjerumus ke dalam lingkaran setan narkoba. Sudah lima bulan ia menjadi
pecundang sejati, ditinggalkan kawan-kawan dan sahabat-sahabatnya, dikeluarkan dari
perguruan tingginya karena ketahuan membawa narkoba, dikejar-kejar polisi saat
penggrebekan pesta narkoba di emperan toko Cak Badrun malam-malam, dan yang
paling menyayat hatinya, dicampakkan oleh satu-satunya wanita yang ia cintai di
dunia ini, Esti. Dan selama lima bulan itulah ia dua kali mengalami sakau.
Marnu tidak ingin
merasakan sakau yang ketiga kalinya. Momen yang bisa membuat kepalanya pecah serasa
ditimpuk bongkahan batu beton, sekujur tubuhnya bagai ditusuk-tusuk jarum, dan
perasaan bahwa malaikat maut siap mencabut nyawanya saat itu juga. Dihantui
kemungkinan akan terjadi momen mengerikan tersebut dan sadar bahwa ia pun tidak
memiliki uang sama sekali di dompetnya untuk membeli beberapa bungkus kokain, Marnu berpikir keras.
Setelah beberapa
menit, Marnu mempunyai ide cemerlang. Mencuri uang ibunya. Solusi termudah saat
ini, mengingat ibunya baru kemarin lusa menang arisan. Karena kini ia tidak
lagi bisa berhutang satu dua gram pada Asmuni. Hal itu bisa menjadi bumerang
baginya, malah ditagih utang-utangnya yang menumpuk dahulu. Selain itu ia bisa
dipukuli para preman kekar bawahan Asmuni.
Marnu keluar dari
kamarnya. Menuju kamar ibunya, ia berjalan mengendap-endap.di kegelapan.
Telinganya menangkap dengkur nafas kucing peliharaannya, batuk adiknya di kamar
sebelah, suara jangkrik, dengung nyamuk, detak jantungnya sendiri, dan segala
jenis keributan yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan. Ibunya tidak
merapatkan pintu kamarnya. Terbuka sedikit, Marnu samar-samar menatap wajah
ibunya yang memejamkan mata. Marnu mendorong pintu dengan ujung jari, dan
engsel pintu mengeluarkan bunyi seperti rintihan, yang menembus dada dan
tinggal di hatinya seperti gema yang membeku. Saat ia melangkah masuk dan
berusaha tidak membuat keributan, langsung tercium olehnya wangi yang sangat ia
kenal. Wangi minyak tawon yang keluar dari tubuh ibunya, yang biasa ibunya
pakai sebelum tidur. Kakinya meraba-raba dalam gelap dan ia merasa menemukan
arah yang benar menuju ke meja tempat dompet ibunya berada. Dengan lemah lembut
tangannya membuka dompet tersebut, lalu menarik tiga lembar seratus ribuan. Ia
menaruh dompet tersebut ke tempat semula dan membalikkan badannya untuk
melangkah menuju ke luar kamar ibunya. Ia memegang gagang pintu kamar namun
tidak menariknya. Ia mencondongkan badannya ke arah ibunya dan mendengar
sesuatu. Nafas ibunya tidak seperti biasanya yang lambat dan teratur layaknya
ketika ibunya tidur tadi. Rupanya ibunya terbangun dan tahu perbuatan apa yang
baru saja Marnu lakukan. Ibunya mulai menangis sesenggukan, batuk kecil, lalu
menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan keras. Pura-pura tidak
tahu, Marnu bergegas ke luar kamar namun tetap menutup pintu dengan hati-hati.
Marnu berjalan
perlahan menuju kamarnya sendiri. Di tengah jalan ia berhenti. Merenungkan
tindakan yang baru saja ia lakukan. Tindakan yang berakibat untuk pertama
kalinya ia mendengar suara tangisan ibunya.
“Sialan! Sialan!” Dengan
berbisik, Marnu mengumpati kursi di sampingnya, mengumpati kucing
peliharaannya, uang yang ia genggam, mengumpati apa saja benda yang ada di
sekelilingnya.
“Ibu menangis, apa
yang harus kulakukan sekarang?” gumamnya.
Sudah dua wanita yang
pernah menangis akibat perbuatan Marnu. Dulu, tiga hari setelah Asmuni
memberikannya kokain, Esti, kekasih Marnu, berada dalam kamarnya. Esti datang
menghampiri Marnu karena sudah dua hari Marnu tak mengangkat satu pun dari
belasan teleponnya dan tak membalas puluhan pesan singkat yang ia kirim.
Esti kaget bercampur
resah saat mengetahui kekasihnya terkulai lemas di lantai kamar mandi. Dengan
hati-hati ia mengangkat tubuh Marnu, ringan, mirip daun yang jatuh dari pohon.
Tidak sulit bagi Esti memindahkannya ke atas kasur. Ia mengambil segelas air kemudian
meminumkannya perlahan ke mulut Marnu, menenggaknya seteguk demi seteguk sampai
habis.
“Mar,” ucap Esti di
telinga Marnu. “Kau kenapa, Mar, sadarlah!” lanjutnya sambil
menggoyang-goyangkan pundak Marnu.
Marnu diam. Ia
kesulitan untuk bisa sekedar menggerakkan bibirnya, apalagi untuk berbicara. Tenggorokannya
basah, namun bibirnya kering. Esti menciumi Marnu di bibir, di pipi, di kening.
Setelah itu, sambil
jongkok jari-jari lentik Esti dengan ahli memencet tombol di telepon
genggamnya. “Aku telepon ambulans saja ya.”
Tiba-tiba mata Marnu
melotot, tangannya dengan sigap dan cekatan meraih telepon genggam Esti. Ia
matikan lalu disimpannya di sakunya saat itu juga.
“Jangan ceritakan
pada siapa pun, Es!”
“Tapi kau sekarat!”
“Jangan khawatir, aku
tidak apa-apa. Besok pasti sudah baik-baik saja.”
Kemudian Marnu bangkit
secara perlahan dan duduk bersila menghadap kekasihnya. Dilihatnya wajah kekasihnya
yang berparas cantik oriental. Senyum mengembang di bibir Marnu. Ia mengambil
toples kecil berisikan bubuk putih dan menunjukkannya pada Esti. Marnu
memberitahu Esti bahwa benda inilah yang menyebabkannya menjadi tergolek lemah
tak berdaya seperti ikan gurami yang terpancing lantas mati karena jauh dari
air.
“Apa itu? Bedak?”
“Ini narkoba, Sayang.
Kokain.”
Esti terperanjat
mendengarnya. Matanya membelalak. Pukulan keras bagi pendengarannya saat itu.
Hatinya gelisah sekaligus kalut. Tubuhnya merinding tanpa ia kehendaki dan
jatuh terduduk.
“Itu, dilarang kan?” tanya Esti dengan terbata-bata.
“Benar. Tapi ini cuma
coba-coba kok. Lagipula ini dikasih
sama teman.” ucap Marnu. “Aku tak akan terus-terusan pakai yang begini, Sayang.
Tak mungkin lah.” lanjutnya.
Esti diam saja
mendengar jawaban itu. Ia tidak seratus persen memercayai ucapan kekasihnya,
namun ia juga berharap semoga yang dikatakannya benar. Ia memegang tangan Marnu
dengan lembut, lalu membelai wajahnya.
“Kau lapar? Aku bisa
memasakkan sesuatu untukmu,” tawar Esti.
Marnu menggeleng.
Dengan penuh kasih, Esti
menyarankan kekasihnya itu supaya beristirahat saja. Marnu mengangguk. Sebelum
meninggalkan kamar, diciuminya wajah Marnu di bibir, di pipi, di kening.
Tiga bulan setelah
kejadian itu, Esti datang lagi. Kali ini Marnu sengaja menyuruhnya datang.
Dalam percakapan di telepon, ia meminta Esti untuk menemaninya malam ini dan
dengan perasaan penuh gelora cinta dan gairah membara seorang wanita muda, Esti
menyatakan kesediaannya.
Rupanya Marnu
mengajak kekasihnya menginap bukan untuk bercinta, atau membelai tubuhnya yang
haus akan dahaga kasih sayang, atau hanya sekedar mengumbar pembicaraan mesum
yang berujung pada ciuman. Marnu pusing, tak sanggup untuk berjalan menemui
Esti. Pusing karena efek kokain yang dihirupnya hampir setiap hari, selain itu
pusing sebab ia tak memiliki uang sepeser pun untuk membeli beberapa bungkus
kokain lagi.
“Kokainku habis,
Sayang. Uangku juga. Boleh aku pinjam uangmu?” ucap Marnu sambil menggenggam
kedua tangan Esti yang selembut sutra. “Tiga ratus ribu saja, hutangku pada
Asmuni belum lunas,” lanjutnya dengan nada manja, merayu-rayu Esti.
Esti melepaskan
genggaman kekasihnya. “Tak akan, Mar!” teriaknya. “Berkali-kali kau bilang dulu
tak akan pakai lagi benda busuk itu. Sekarang kau terjerumus ke dalam sampah
narkoba, Mar! Kau akan menyeretku juga? Dengan memberi uang untuk kau gunakan
pada sesuatu yang menyengsarakan hidupmu sendiri, sama saja aku terlibat. Tak
akan pernah kupinjami kau serupiah pun!” lanjutnya. Gairah Esti menghilang,
berganti dengan amarah.
Marnu diam seribu
bahasa. Ia menunduk, keheningan mengalir di dalam ruangan pengap itu selama beberapa
detik.
“Asmuni kan? Setelah ini kau akan menghampiri
bocah sinting itu? Untuk apa, Mar? Berhutang lagi?” cerca Esti. Ia tidak
membiarkan kekasihnya menjawab barang satu patah kata pun. “Kau sudah gila,
Mar, lihat saja penampilanmu. Lusuh. Mirip dengan gelandangan di Pasar Senen.”
Marnu mematung. Tak
berani ia menggerakkan tubuhnya sedikit pun. Sikapnya persis seperti saat
almarhum ayahnya yang memarahi dan menceramahinya, setelah mendapat aduan dari
Wak Tami, tetangga sebelah, gara-gara meninju anaknya yang masih 8 tahun, waktu
jaman SMP dulu.
“Sampai kapan kau
akan seperti ini, Mar? Kapan kau akan berubah?” tanya Esti dengan penuh harap.
Marnu mencoba
berbicara. “Tak usah kau menjawab pertanyaanku!” sentak Esti saat Marnu baru
akan membuka mulutnya. “Sudah sering kau berjanji padaku, Mar. Akan berhenti,
akan berubah, akan bangkit. Kau sama saja dengan para pembohong yang ada di televisi-televisi
keparat itu. Palsu semuanya!”
Esti mulai meneteskan
air mata, sayup-sayup terdengar isak tangisnya dan menutup mukanya dengan kedua
tangan. Dengan perasaan bersalah, Marnu beringsut menghampiri ke samping
kekasihnya. Dilihatnya leher bagian belakang Esti yang seputih bulu angsa, lalu
mencoba menenangkannya dengan menjulurkan tangannya untuk memeluk pundak Esti.
Tak Marnu duga, Esti justru menepis juluran tangan Marnu. Esti bergerak menjauh.
“Tak perlu kau
menyentuhku, takkan kubiarkan tanganmu yang bau bubuk setan sialan itu
menyentuh tubuhku lagi!” ucapnya sambil sesenggukan. “Aku rindu Marnu yang
dulu, sebelum terperosok ke jurang narkoba. Aku rindu Marnu yang dulu, yang
berpestasi di kelasnya. Yang suka membaca, pintar bercerita, selalu ceria dan
disukai semua orang. Marnu yang selalu datang saat aku berada di bawah.
Menjemputku, meniupkan kehidupan baru ke dalam nafasku. Marnu yang selalu
optimis, menjadi kekasih, sahabat, sekaligus mentorku. Aku rindu Marnu yang
seperti itu. Sekarang, kemana dia? Pergi kemana? Hilangkah?” tangis Esti makin
menjadi-jadi.
Kalimat-kalimat yang
dikeluarkan Esti sangat mengiris hati Marnu. Ia luluh, ikut menangis
tersedu-sedu. “Maafkan aku, Es,” katanya dengan suara lirih.
“Maaf? Hanya itu yang
bisa kau katakan?” balas Esti. “Sudah terlambat, Mar. Apakah kau tidak melihat
teman-temanmu menghindarimu gara-gara kau bergaul dengan si goblok Asmuni? Apa
kau menyadari bahwa kau diambang terusir dari perguruan tinggimu? Hanya
menunggu panggilan rektor, Mar, selesai sudah nasib baikmu. Dan apa kau memahami
bila terus-terusan kau melanjutkan hal buruk ini, bukan saja kau mendapat
masalah-masalah lainnya, namun kau bisa masuk penjara!”
Marnu membayangkan
jika itu terjadi di kemudian hari. Penjara. Tempat terakhir yang Marnu inginkan
ia berada di belahan manapun di dunia ini.
“Tidak cukup dengan
itu, Mar, kau bisa saja terperangkap di ranjang rumah sakit. Di ruang yang
sunyi, dimana tak ada seorang pun yang akan menjengukmu barang sedetik pun!
Sendirian. Tetapi, lebih dari itu, Mar, yang paling aku takutkan, kau mungkin
berakhir di kuburan. Saat itu sudah terlambat semuanya. Ya, kau tahu, Mar?
Mati!”
Tidak sedikit pun
Marnu menyangka kekasihnya akan berkata seperti itu, dan tak secuil pun ia berharap
berakhir dengan kematian akibat narkoba. Ia masih muda, masa depan terbentang
luas di hadapannya. Namun keadaan berkata lain.
“Kupikir, aku juga
akan meninggalkanmu, Mar. Aku akan kembali padamu suatu hari. Tidak bila kau
belum berubah. Maka segeralah berhenti, karena bila kau tak bergegas
meninggalkan narkoba hina itu, dan aku sudah berpaling ke pria lain, habis
sudah harapanmu terhadapku!” Esti berdiri, menatap mata Marnu untuk terakhir
kalinya, kemudian beranjak pergi dan tak pernah kembali lagi.
Marnu bimbang,
terpaku berdiri memegang uang yang baru saja ia curi dari dompet ibunya, entah
mengapa pikiran Marnu justru melayang mengingat-ingat kisahnya dengan mantan
kekasihnya itu.
“Mungkin karena
tangisan wanita,” gumamnya.
Dan dua bulan setelah
ditinggalkan kekasihnya, atau lima bulan setelah pertama kalinya ia mengenal
narkoba, kini, ia benar-benar kebingungan. Jika ia melanjutkan langkahnya, maka
ia bisa menemui Asmuni dan bertransaksi kokain lagi. Itu berarti ia melanjutkan
kebiasaan lamanya menghirup kokain, bersenang-senang sendiri dengan nikmat
halusinasi yang memikat. Tentu saja ia bisa menghindari sakau, hal yang paling
ditakutinya melebihi saat ditinggalkan kawan-kawannya, melebihi ketakutannya
saat dikejar-kejar polisi, atau saat dicampakkan oleh satu-satunya wanita yang
ia cintai di dunia ini, Esti.
Di sisi lain, ia juga
mempertimbangkan untuk mengembalikan uang yang ia genggam. Selain dapat
menghapus air mata ibunya, ia selangkah mendekat keluar dari neraka candu
narkoba. Namun ia tidak bisa menghindari sakau yang perlahan mendatangi
tubuhnya.
Bimbang, kepalanya
berat, pikirannya kacau. “Aku harus bagaimana, Es? Aku membutuhkanmu untuk
keluar dari semua ini,” katanya dalam hati. Sudah terlambat ia membutuhkan
Esti, kekasihnya yang sudah tak lagi di sisinya.
“Bagaimana justru
jika aku menyerahkan diri ke polisi? Saat ini juga. Atau pergi ke panti
rehabilitasi? Atau ke mana saja asal itu bisa mengembalikan hidupku ke sedia
kala! Sekarang, apa yang harus kulakukan, Es?”
Marnu berdiri mematung
di antara kamarnya dan kamar ibunya, mematung di antara kegelisahan hidupnya
yang hancur lebur dan bayang-bayang semu kenikmatan sesaat. Marnu terperangkap.
Terperangkap di rumahnya sendiri, terperangkap dalam pikiran-pikirannya
sendiri, dan terperangkap dalam lingkaran setan narkoba, benda terkutuk yang
menjauhkannya dari kekasihnya, satu-satunya wanita yang ia cintai di dunia ini,
Esti.
Rhugandanu N. Jember, 21 Juni 2015