Monday 13 July 2015

LIMA BULAN


Dingin. Hawa dinginnya lebih dari kemarin. Sudah berkali-kali Marnu mencoba untuk bisa tidur, tetapi selalu tak berhasil. Jaket dan selimut yang menutupi tubuh Marnu serasa percuma. Tubuh Marnu menggigil. Kepalanya serasa dipalu-palu, pikirannya buram. Pandangan matanya makin kabur. Sesak, udara serasa kian sulit untuk dihirup.
Dengan susah payah Marnu mencoba meraih telepon genggamnya yang berada di lantai, persis di sebelah kasurnya yang tanpa dipan. Tidak sengaja tangan Marnu justru menyenggol cangkir berisikan sisa kopi semalam. Kopi tumpah seketika, membasahi tumpukan baju yang sudah dia setrika.
“Sialan!” ucap Marnu.
Kejadian tersebut membuat Marnu melek. Terjaga sepenuhnya, Marnu membuka selimutnya. Bangkit dari berbaring, ia duduk bersila di tepi kasur. Setelah sejenak melakukan pelemasan pinggang dan leher, tanpa memedulikan baju-bajunya yang basah, ia mengambil telepon genggamnya. Kali ini dengan mudah.
“Jam dua seperempat,” ujarnya kepada diri sendiri, hanya di batin.
Perut Marnu tiba-tiba terasa mual. Dengan perasaan malas, ia berdiri. Marnu berjalan terhuyung-huyung menuju kamar mandi. Langkahnya lunglai.
Marnu memuntahkan hampir seluruh isi perutnya di kakus. Setelah itu, sambil menyiram ia melihat pantulan wajahnya di cermin yang terpasang di tembok di atas kakus. Dalam hatinya, ia seperti melihat mayat hidup. Rambut acak-acakan. Kulit pucat pasi. Mata melorot sayu, dengan kantung mata hitam di bawahnya. Mengerikan!
Satu hal pasti yang menyebabkan Marnu tidak bisa tidur nyenyak, perutnya terasa mual dan wajahnya yang tampak mengerikan: Marnu kehabisan kokain.
Selepas keluar dari kamar mandi, Marnu memastikan sekali lagi stok kokain yang ia punya. Marnu merogoh-rogoh saku celana jeansnya yang tergantung di balik pintu kamar. Kosong. Lalu dipelototinya barang-barangnya di atas meja kecil di pojokan. Tak ada. Yang ada di sana hanyalah dompet dan secarik kertas lusuh yang berisikan daftar mingguan utang-utangnya kepada Asmuni, bandar narkoba kelas teri desa sebelah, serta jam tangan kesayangan Marnu, hadiah pemberian dari mantan pacarnya, Esti.
“Sialan!” teriak Marnu.
Frustasi, Marnu menendang tumpukan baju bernoda hitam akibat kopi yang ditumpahkannya tadi. Ia diambang ketakutan. Lebih dari itu, ia terancam oleh ketakutan terbesarnya: sakau.
Marnu memulai menjadi pecandu narkoba lima bulan yang lalu. Saat itu ia sedang mengembalikan buku-buku tentang ternak ayam petelur yang ia pinjam dari Sentot, teman SD-nya dulu, di rumah Sentot di desa sebelah. Kebetulan, Sentot sedang bersama Asmuni. Seketika itu pula tanpa basa-basi, Asmuni menunjukkan produk unggulannya kepada Marnu.
 “Apa itu? Terigu?” tanyanya pada Asmuni.
“Bodoh kau! Ini kokain,” potong Sentot.
Kemudian Asmuni menjelaskan kegunaan bubuk putih yang dibungkus plastik transparan berbentuk persegi panjang seukuran bungkus rokok tersebut kepada Marnu. Bubuk putih yang bisa membuat pikiran seseorang melayang, suasana hati menjadi riang gembira, dan rasa percaya diri meningkat. Asmuni menyodorkannya kepada Marnu. Marnu bergeming. Ragu.
“Buat pemula gratis kok,” ucap Asmuni.
Gratis. Kata yang paling disukai semua orang, termasuk Marnu. Dengan cepat ia menyambar bungkusan tersebut. Dilihatinya, lalu dicium-cium. Tidak berbau pikir Marnu.
Gimana cara pakainya?” tanyanya.
“Ah, gampang. Nanti kuajarkan,” jawab Sentot.
Ya, sejak saat itulah Marnu mengenal narkoba. Awal dari segala malapetaka yang menimpanya saat ini. Lima bulan ia terjerumus ke dalam lingkaran setan narkoba. Sudah lima bulan ia menjadi pecundang sejati, ditinggalkan kawan-kawan dan sahabat-sahabatnya, dikeluarkan dari perguruan tingginya karena ketahuan membawa narkoba, dikejar-kejar polisi saat penggrebekan pesta narkoba di emperan toko Cak Badrun malam-malam, dan yang paling menyayat hatinya, dicampakkan oleh satu-satunya wanita yang ia cintai di dunia ini, Esti. Dan selama lima bulan itulah ia dua kali mengalami sakau.
Marnu tidak ingin merasakan sakau yang ketiga kalinya. Momen yang bisa membuat kepalanya pecah serasa ditimpuk bongkahan batu beton, sekujur tubuhnya bagai ditusuk-tusuk jarum, dan perasaan bahwa malaikat maut siap mencabut nyawanya saat itu juga. Dihantui kemungkinan akan terjadi momen mengerikan tersebut dan sadar bahwa ia pun tidak memiliki uang sama sekali di dompetnya untuk membeli beberapa bungkus  kokain, Marnu berpikir keras.
Setelah beberapa menit, Marnu mempunyai ide cemerlang. Mencuri uang ibunya. Solusi termudah saat ini, mengingat ibunya baru kemarin lusa menang arisan. Karena kini ia tidak lagi bisa berhutang satu dua gram pada Asmuni. Hal itu bisa menjadi bumerang baginya, malah ditagih utang-utangnya yang menumpuk dahulu. Selain itu ia bisa dipukuli para preman kekar bawahan Asmuni.
Marnu keluar dari kamarnya. Menuju kamar ibunya, ia berjalan mengendap-endap.di kegelapan. Telinganya menangkap dengkur nafas kucing peliharaannya, batuk adiknya di kamar sebelah, suara jangkrik, dengung nyamuk, detak jantungnya sendiri, dan segala jenis keributan yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan. Ibunya tidak merapatkan pintu kamarnya. Terbuka sedikit, Marnu samar-samar menatap wajah ibunya yang memejamkan mata. Marnu mendorong pintu dengan ujung jari, dan engsel pintu mengeluarkan bunyi seperti rintihan, yang menembus dada dan tinggal di hatinya seperti gema yang membeku. Saat ia melangkah masuk dan berusaha tidak membuat keributan, langsung tercium olehnya wangi yang sangat ia kenal. Wangi minyak tawon yang keluar dari tubuh ibunya, yang biasa ibunya pakai sebelum tidur. Kakinya meraba-raba dalam gelap dan ia merasa menemukan arah yang benar menuju ke meja tempat dompet ibunya berada. Dengan lemah lembut tangannya membuka dompet tersebut, lalu menarik tiga lembar seratus ribuan. Ia menaruh dompet tersebut ke tempat semula dan membalikkan badannya untuk melangkah menuju ke luar kamar ibunya. Ia memegang gagang pintu kamar namun tidak menariknya. Ia mencondongkan badannya ke arah ibunya dan mendengar sesuatu. Nafas ibunya tidak seperti biasanya yang lambat dan teratur layaknya ketika ibunya tidur tadi. Rupanya ibunya terbangun dan tahu perbuatan apa yang baru saja Marnu lakukan. Ibunya mulai menangis sesenggukan, batuk kecil, lalu menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan keras. Pura-pura tidak tahu, Marnu bergegas ke luar kamar namun tetap menutup pintu dengan hati-hati.
Marnu berjalan perlahan menuju kamarnya sendiri. Di tengah jalan ia berhenti. Merenungkan tindakan yang baru saja ia lakukan. Tindakan yang berakibat untuk pertama kalinya ia mendengar suara tangisan ibunya.
“Sialan! Sialan!” Dengan berbisik, Marnu mengumpati kursi di sampingnya, mengumpati kucing peliharaannya, uang yang ia genggam, mengumpati apa saja benda yang ada di sekelilingnya.
“Ibu menangis, apa yang harus kulakukan sekarang?” gumamnya.
Sudah dua wanita yang pernah menangis akibat perbuatan Marnu. Dulu, tiga hari setelah Asmuni memberikannya kokain, Esti, kekasih Marnu, berada dalam kamarnya. Esti datang menghampiri Marnu karena sudah dua hari Marnu tak mengangkat satu pun dari belasan teleponnya dan tak membalas puluhan pesan singkat yang ia kirim.
Esti kaget bercampur resah saat mengetahui kekasihnya terkulai lemas di lantai kamar mandi. Dengan hati-hati ia mengangkat tubuh Marnu, ringan, mirip daun yang jatuh dari pohon. Tidak sulit bagi Esti memindahkannya ke atas kasur. Ia mengambil segelas air kemudian meminumkannya perlahan ke mulut Marnu, menenggaknya seteguk demi seteguk sampai habis.
“Mar,” ucap Esti di telinga Marnu. “Kau kenapa, Mar, sadarlah!” lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan pundak Marnu.
Marnu diam. Ia kesulitan untuk bisa sekedar menggerakkan bibirnya, apalagi untuk berbicara. Tenggorokannya basah, namun bibirnya kering. Esti menciumi Marnu di bibir, di pipi, di kening.
Setelah itu, sambil jongkok jari-jari lentik Esti dengan ahli memencet tombol di telepon genggamnya. “Aku telepon ambulans saja ya.”
Tiba-tiba mata Marnu melotot, tangannya dengan sigap dan cekatan meraih telepon genggam Esti. Ia matikan lalu disimpannya di sakunya saat itu juga.
“Jangan ceritakan pada siapa pun, Es!”
“Tapi kau sekarat!”
“Jangan khawatir, aku tidak apa-apa. Besok pasti sudah baik-baik saja.”
Kemudian Marnu bangkit secara perlahan dan duduk bersila menghadap kekasihnya. Dilihatnya wajah kekasihnya yang berparas cantik oriental. Senyum mengembang di bibir Marnu. Ia mengambil toples kecil berisikan bubuk putih dan menunjukkannya pada Esti. Marnu memberitahu Esti bahwa benda inilah yang menyebabkannya menjadi tergolek lemah tak berdaya seperti ikan gurami yang terpancing lantas mati karena jauh dari air.
“Apa itu? Bedak?”
“Ini narkoba, Sayang. Kokain.”
Esti terperanjat mendengarnya. Matanya membelalak. Pukulan keras bagi pendengarannya saat itu. Hatinya gelisah sekaligus kalut. Tubuhnya merinding tanpa ia kehendaki dan jatuh terduduk.
“Itu, dilarang kan?” tanya Esti dengan terbata-bata.
“Benar. Tapi ini cuma coba-coba kok. Lagipula ini dikasih sama teman.” ucap Marnu. “Aku tak akan terus-terusan pakai yang begini, Sayang. Tak mungkin lah.” lanjutnya.
Esti diam saja mendengar jawaban itu. Ia tidak seratus persen memercayai ucapan kekasihnya, namun ia juga berharap semoga yang dikatakannya benar. Ia memegang tangan Marnu dengan lembut, lalu membelai wajahnya.
“Kau lapar? Aku bisa memasakkan sesuatu untukmu,” tawar Esti.
Marnu menggeleng.
Dengan penuh kasih, Esti menyarankan kekasihnya itu supaya beristirahat saja. Marnu mengangguk. Sebelum meninggalkan kamar, diciuminya wajah Marnu di bibir, di pipi, di kening.
Tiga bulan setelah kejadian itu, Esti datang lagi. Kali ini Marnu sengaja menyuruhnya datang. Dalam percakapan di telepon, ia meminta Esti untuk menemaninya malam ini dan dengan perasaan penuh gelora cinta dan gairah membara seorang wanita muda, Esti menyatakan kesediaannya.
Rupanya Marnu mengajak kekasihnya menginap bukan untuk bercinta, atau membelai tubuhnya yang haus akan dahaga kasih sayang, atau hanya sekedar mengumbar pembicaraan mesum yang berujung pada ciuman. Marnu pusing, tak sanggup untuk berjalan menemui Esti. Pusing karena efek kokain yang dihirupnya hampir setiap hari, selain itu pusing sebab ia tak memiliki uang sepeser pun untuk membeli beberapa bungkus kokain lagi.
“Kokainku habis, Sayang. Uangku juga. Boleh aku pinjam uangmu?” ucap Marnu sambil menggenggam kedua tangan Esti yang selembut sutra. “Tiga ratus ribu saja, hutangku pada Asmuni belum lunas,” lanjutnya dengan nada manja, merayu-rayu Esti.
Esti melepaskan genggaman kekasihnya. “Tak akan, Mar!” teriaknya. “Berkali-kali kau bilang dulu tak akan pakai lagi benda busuk itu. Sekarang kau terjerumus ke dalam sampah narkoba, Mar! Kau akan menyeretku juga? Dengan memberi uang untuk kau gunakan pada sesuatu yang menyengsarakan hidupmu sendiri, sama saja aku terlibat. Tak akan pernah kupinjami kau serupiah pun!” lanjutnya. Gairah Esti menghilang, berganti dengan amarah.
Marnu diam seribu bahasa. Ia menunduk, keheningan mengalir di dalam ruangan pengap itu selama beberapa detik.
“Asmuni kan? Setelah ini kau akan menghampiri bocah sinting itu? Untuk apa, Mar? Berhutang lagi?” cerca Esti. Ia tidak membiarkan kekasihnya menjawab barang satu patah kata pun. “Kau sudah gila, Mar, lihat saja penampilanmu. Lusuh. Mirip dengan gelandangan di Pasar Senen.”
Marnu mematung. Tak berani ia menggerakkan tubuhnya sedikit pun. Sikapnya persis seperti saat almarhum ayahnya yang memarahi dan menceramahinya, setelah mendapat aduan dari Wak Tami, tetangga sebelah, gara-gara meninju anaknya yang masih 8 tahun, waktu jaman SMP dulu.
“Sampai kapan kau akan seperti ini, Mar? Kapan kau akan berubah?” tanya Esti dengan penuh harap.
Marnu mencoba berbicara. “Tak usah kau menjawab pertanyaanku!” sentak Esti saat Marnu baru akan membuka mulutnya. “Sudah sering kau berjanji padaku, Mar. Akan berhenti, akan berubah, akan bangkit. Kau sama saja dengan para pembohong yang ada di televisi-televisi keparat itu. Palsu semuanya!”
Esti mulai meneteskan air mata, sayup-sayup terdengar isak tangisnya dan menutup mukanya dengan kedua tangan. Dengan perasaan bersalah, Marnu beringsut menghampiri ke samping kekasihnya. Dilihatnya leher bagian belakang Esti yang seputih bulu angsa, lalu mencoba menenangkannya dengan menjulurkan tangannya untuk memeluk pundak Esti. Tak Marnu duga, Esti justru menepis juluran tangan Marnu. Esti bergerak menjauh.
“Tak perlu kau menyentuhku, takkan kubiarkan tanganmu yang bau bubuk setan sialan itu menyentuh tubuhku lagi!” ucapnya sambil sesenggukan. “Aku rindu Marnu yang dulu, sebelum terperosok ke jurang narkoba. Aku rindu Marnu yang dulu, yang berpestasi di kelasnya. Yang suka membaca, pintar bercerita, selalu ceria dan disukai semua orang. Marnu yang selalu datang saat aku berada di bawah. Menjemputku, meniupkan kehidupan baru ke dalam nafasku. Marnu yang selalu optimis, menjadi kekasih, sahabat, sekaligus mentorku. Aku rindu Marnu yang seperti itu. Sekarang, kemana dia? Pergi kemana? Hilangkah?” tangis Esti makin menjadi-jadi.
Kalimat-kalimat yang dikeluarkan Esti sangat mengiris hati Marnu. Ia luluh, ikut menangis tersedu-sedu. “Maafkan aku, Es,” katanya dengan suara lirih.
“Maaf? Hanya itu yang bisa kau katakan?” balas Esti. “Sudah terlambat, Mar. Apakah kau tidak melihat teman-temanmu menghindarimu gara-gara kau bergaul dengan si goblok Asmuni? Apa kau menyadari bahwa kau diambang terusir dari perguruan tinggimu? Hanya menunggu panggilan rektor, Mar, selesai sudah nasib baikmu. Dan apa kau memahami bila terus-terusan kau melanjutkan hal buruk ini, bukan saja kau mendapat masalah-masalah lainnya, namun kau bisa masuk penjara!”
Marnu membayangkan jika itu terjadi di kemudian hari. Penjara. Tempat terakhir yang Marnu inginkan ia berada di belahan manapun di dunia ini.
“Tidak cukup dengan itu, Mar, kau bisa saja terperangkap di ranjang rumah sakit. Di ruang yang sunyi, dimana tak ada seorang pun yang akan menjengukmu barang sedetik pun! Sendirian. Tetapi, lebih dari itu, Mar, yang paling aku takutkan, kau mungkin berakhir di kuburan. Saat itu sudah terlambat semuanya. Ya, kau tahu, Mar? Mati!”
Tidak sedikit pun Marnu menyangka kekasihnya akan berkata seperti itu, dan tak secuil pun ia berharap berakhir dengan kematian akibat narkoba. Ia masih muda, masa depan terbentang luas di hadapannya. Namun keadaan berkata lain.
“Kupikir, aku juga akan meninggalkanmu, Mar. Aku akan kembali padamu suatu hari. Tidak bila kau belum berubah. Maka segeralah berhenti, karena bila kau tak bergegas meninggalkan narkoba hina itu, dan aku sudah berpaling ke pria lain, habis sudah harapanmu terhadapku!” Esti berdiri, menatap mata Marnu untuk terakhir kalinya, kemudian beranjak pergi dan tak pernah kembali lagi.
Marnu bimbang, terpaku berdiri memegang uang yang baru saja ia curi dari dompet ibunya, entah mengapa pikiran Marnu justru melayang mengingat-ingat kisahnya dengan mantan kekasihnya itu.
“Mungkin karena tangisan wanita,” gumamnya.
Dan dua bulan setelah ditinggalkan kekasihnya, atau lima bulan setelah pertama kalinya ia mengenal narkoba, kini, ia benar-benar kebingungan. Jika ia melanjutkan langkahnya, maka ia bisa menemui Asmuni dan bertransaksi kokain lagi. Itu berarti ia melanjutkan kebiasaan lamanya menghirup kokain, bersenang-senang sendiri dengan nikmat halusinasi yang memikat. Tentu saja ia bisa menghindari sakau, hal yang paling ditakutinya melebihi saat ditinggalkan kawan-kawannya, melebihi ketakutannya saat dikejar-kejar polisi, atau saat dicampakkan oleh satu-satunya wanita yang ia cintai di dunia ini, Esti.
Di sisi lain, ia juga mempertimbangkan untuk mengembalikan uang yang ia genggam. Selain dapat menghapus air mata ibunya, ia selangkah mendekat keluar dari neraka candu narkoba. Namun ia tidak bisa menghindari sakau yang perlahan mendatangi tubuhnya.
Bimbang, kepalanya berat, pikirannya kacau. “Aku harus bagaimana, Es? Aku membutuhkanmu untuk keluar dari semua ini,” katanya dalam hati. Sudah terlambat ia membutuhkan Esti, kekasihnya yang sudah tak lagi di sisinya.
“Bagaimana justru jika aku menyerahkan diri ke polisi? Saat ini juga. Atau pergi ke panti rehabilitasi? Atau ke mana saja asal itu bisa mengembalikan hidupku ke sedia kala! Sekarang, apa yang harus kulakukan, Es?”
Marnu berdiri mematung di antara kamarnya dan kamar ibunya, mematung di antara kegelisahan hidupnya yang hancur lebur dan bayang-bayang semu kenikmatan sesaat. Marnu terperangkap. Terperangkap di rumahnya sendiri, terperangkap dalam pikiran-pikirannya sendiri, dan terperangkap dalam lingkaran setan narkoba, benda terkutuk yang menjauhkannya dari kekasihnya, satu-satunya wanita yang ia cintai di dunia ini, Esti.

Rhugandanu N. Jember, 21 Juni 2015