Saturday 11 April 2015

Goa Pasir










Bagi warga Masyarakat Tulungagung siapa yang belum mengenal Goa Pasir, Goa yang terletak di Dukuh Pasir Desa Junjung Kecamatan Sumbergempol atau tepatnya di sisi utara pegunungan kapur selatan (Gunung Podo) ini ternyata banyak menyimpan berbagai benda purbakala (Patung, berbagai pahatan/relief yang ada di antara bebatuan, makam kuno dan goa) yang dapat dijadikan obyek wisata sejarah maupun cagar budaya.
Dari Buku yang berjudul TABUTA (Tapak Budaya Tulungagung) karangan Drs. M Dwi Cahyono, M.Hum dijelaskan bahwa Goa Pasir atau yang dinamakan Situs Karsyan Goa Pasir yang terletak di Desa Junjung Kecamatan Sumbergempol berbentuk bangun landam kuda serta tinggalan arkeologi yang berupa goa pertapaan yang berisi banyak relief (goa I) dengan ukuran goa 260 x 175 cm dan kedalaman 218 cm dengan ketinggian 200M di atas permukaan tanah tanpa disertai dengan tangga batu. Dan goa II yang tidak ber-relief dengan posisi tebing bawah dengan keadaan mulut lebih besar dari goa I berukuran 305 x 255 x 190 cm dan kedalaman 255 cm posisi goa menghadap ke barat.
Dalam buku TABUTA juga dijelaskan bahwa sesuai dengan sebutannya yaitu “Situs Goa Pasir“ dan fungsinya sebagai karsyan maka kedua Goa tersebut waktu itu difungsikan sebagai pertapaan. Hal tersebut didukung dengan banyaknya temuan lain yang tersebar di area goa serta sebagian yang tertimbun tanah, hal ini selaras dengan esoteris dari Hindu sekte Siwa Shidanta yang lazim di jalankan di lingkungan karsyan yang sifatnya tertutup.
Temuan lain di situs Goa Pasir berupa sisa struktur bangunan, berbangun bujur sangkar dengan ukuran sisi 700 cm berupa tatanan batu bata yang semula diperkirakan sebagai pondasi suatu asrama (rumah tinggal semi permanen bagi para Resi) dan hingga kini yang tersisa dari bangunan ini adalah bagian bangunan yang tampak di permukaan tanah yang berada di sisi selatan dan barat.
Selain itu di area situs juga terdapat arca-arca lepas batu adesit, sedangkan arca yang tersisa berupa dua buah arca penjaga pintu (dwara pala) berbeda ukuran dan detail bentuknya, fragmen arca Ganesha (Putra kedua dari Dewa siwa dan parwati/uma) peninggalan kerajaan Majapahit dan ini di indikatori berupa pahatan teratai yang tumbuh dari vas bunga yang dipahat pada sandaran kanan kiri kaki arca.
Berdasarkan catatan penelitian N.J. Krom dan Verbeek di situs Goa pasir pernah ditemukan arca batu yang sandarannya dipahatkan konogram saka 1325 (1403 M) dan 1224 S (1302 M) tahun 1302-1403 M yang berarti dari masa Majapahit, juga pernah ditemukan kronogram yang bertarikh Saka 1228 (1306 M), menunjuk pada zaman Majapahit oleh karena itu situs Karsyan Goa pasir diperkirakan sebuah peninggalan zaman Majapahit.

sumber, tulungagung.go.id
goa-pasir

Tuesday 7 April 2015

Pantai Popoh

pantai-popoh

Pantai Popoh adalah obyek wisata pantai yang terletak di pesisir Samudera Hindia Kabupaten Tulungagung. Pantai ini merupakan salah satu obyek wisata andalan Tulungagung. Kawasan Popoh berada di ujung timur Pegunungan Kidul.

Pantai popoh merupakan pantai yang telah dikembangkan dengan baik oleh P.R. Retjo Pentung. Akses menuju pantai popoh dapat ditempuh dengan aman dan nyaman melalui jalan aspal. Lokasinya kurang lebih 27 km dari pusat kota Tulungagung menuju arah pantai selatan.

Dalam perjalanan menuju objek wisata Pantai Indah Popoh ini para pelancong dapat mengunjungi sentra kerajinan batu onyx yang merupakan salah satu produk unggulan Kabupaten Tulungagung.

Pantai ini berbentuk teluk sehingga suasana tercipta suasana khas di dalamnya. Deburan ombak Laut Selatan yang penuh pesona magis, angin laut yang tidak begitu kuat, karang payung yang menyembul dari bawah laut, keindahan gunung disekitar teluk, dan dan "Reco Sewu" telah menjadi daya tarik utama pantai ini.

Di sekitar Pantai Popoh Indah juga terdapat penginapan yang langsung menghadap laut, selain itu juga ada pasar ikan, berbagai macam penjual souvenir, kebun binatang, dan taman bermain.

sumber, Tulungagung.go.id

Pantai Coro

pantai-coro

Pantai Coro Apa yang menarik dari pantai ini? Pantai yang memiliki panjang sekitar 400 meter, pasirnya berwarna putih, bersih, dan lembut. Menjadikan Pantai Coro tidak kalah dengan pantai lain yang ada di Jawa Timur. Selain itu daya tarik lain pada pantai yang berjarak sekitar 1,5 km timur padepokan "Retjo Sewu" adalah keberadaannya yang masih natural, belum banyak tergarap, serta ombak pantai juga tidak terlalu besar.

Lebih dari itu air laut pantai sangat jernih sehingga permukaan dasar laut bisa dilihat dengan mata telanjang, seperti semua karang dan tumbuhan laut.

Di pantai yang menurut cerita dulunya banyak hewan coro (kecoak), juga banyak sekali dijumpai batu karang, tumbuhan dan hewan laut. Pengunjung bisa melihat dengan jelas tumbuhan dan hewan laut hidup di batu-batu karang di sepanjang pantai yang berbentuk teluk tersebut. Dan semua itu akan lebih jelas terlihat ketika air laut mulai surut.

Bagi mereka yang suka mengoleksi aneka kulit kerang bisa datang ke tempat ini, karena banyak sekali jenis kulit kerang yang terdampar di bibir pantai, begitu juga dengan batu karang yang terdapat di hamparan pasir putih yang luas.

sumber, Tulungagung.go.id

Candi Penampihan

candi-penampihan

Candi Penampehan yang terletak dilereng Gunung Wilis, Dusun Turi Desa Geger kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung merupakan candi Hindu kuno peninggalan kerajaan Mataram kuno dibangun pada tahun saka 820 atau 898 Masehi. Arti penampehan itu sendiri konon berasal dari Bahasa Jawa yang berarti antara penolakan dan penerimaan yang bersyarat demikian tafsirnya. 

Candi penampehan merupakan candi pemujaan dengan tiga tahapan (teras) yang dipersembahkan untuk memuja Dewa Siwa, dimana konon peresmian candi ini dengan mengadakan pagelaran Wayang (ringgit). Selanjutnya era demi era pergolakan perebutan kekuasaan dan politik di tanah jawa berganti mulai dari kerajaan Mataram Kuno, Kediri, Singosari, hingga Majapahit sekitar abad 9-14 M, candi ini terus digunakan untuk bertemu dan memuja Tuhan, Sang Hyang Wenang.

Di dalam kompleks Candi terdapat beberapa Arca yaitu arca Siwa dan Dwarapala, tetapi karena ulah Manusia yang tidak mencintai dan menghargai Heritage dan legacy dari nenek moyang beberapa arca telah hilang dan rusak. Untuk mengamankan beberapa arca yang tersisa yaitu arca siwa sekarang diletakan di museum situs Purbakala Majapahit Trowulan Jawa timur.

Selain Arca terdapat sebuah prasasti kuno yaitu Prasasti Tinulat tertulis dengan menggunakan huruf Pallawa dengan stempel berbentuk lingkaran di bagian atas prasasti. Berdasarkan Penuturan Bu Winarti umur 44 Tahun, juru kunci Candi Penampehan, prasasti itu berkisah tentang Nama-nama raja Balitung, serta seorang yang bernama Mahesa lalatan, siapa dia? Sejarah lisan maupun artefak belum bisa menguaknya. Serta seorang putri yang konon bernama Putri Kilisuci dari Kerajaan Kediri. Selain menyebutkan nama, prasasti itu juga memberikan informasi tentang Catur Asrama yaitu sistem sosial masyarakat era itu di mana pengklasifikasian masyarakat (stratifikasi) berdasarkan kasta dalam agama Hindu yaitu Brahmana, Satria, Vaisya dan Sudra.

Masih di kompleks candi Penampehan terdapat 2 kolam kecil yang bernama Samudera Mantana (pemutaran air samudera), di mana menurut pengamatan empiris selama berpuluh-puluh oleh Bu Winarti, 2 kolam tersebut merupakan indikator keadaan air di Pulau Jawa. Kolam yang sebelah utara merupakan indikator keadaan air di Pulau Jawa bagian utara dan Kolam sebelah selatan merupakan indikator keadaan air di Pulau Jawa bagian selatan. Berdasarkan penuturan Bu Winarti, Apabila sumber air di kedua kolam tersebut kering berarti keadaan air dibawah menderita kekeringan, sebaliknya bila kedua atau salah satu kolam tersebut penuh air berarti keadaan air di bawah sedang banjir. (Sari Oktafiana)

sumber, Tulungagung.go.id

Pantai Sine

pantai-sine

Pantai yang terletak di Desa Kalibatur Kecamatan Kalidawir atau sekitar kurang lebih 35 km kearah selatan dari kota Tulungagung ini mempunyai keindahan dan panorama alam yang begitu indah. Pantai Sine ini merupakan pantai bebas dengan ombak yang cukup besar selain itu Pantai Sine ini merupakan pantai alam berbentuk teluk di pesisir selatan Kabupaten Tulungagung. 

Di sebelah utara terdapat tebing dengan pancuran alami yang mana airnya berasal dari mata air di atasnya dan di sebelah selatan Pantai Sine terdapat hutan yang masih terlindungi dan keberadaan pasar ikan tradisional yang pastilah menambah keindahan Pantai Sine. Walaupun menghabiskan waktu yang lumayan lama dari pusat kota tetapi perjalanan menuju wisata Pantai ini sangatlah menyenangkan karena melewati pegunungan dan perbukitan yang sangat indah.

Selain menyajikan keindahan alami Pantai Sine ini juga menyajikan keragaman budaya lokal masyarakat sekitar, misalnya kesenian wayang kulit yang dipertunjukkan setiap tanggal satu suro, dan ada juga prosesi larung sesaji yang berguna untuk menangkal mara bahaya ataupun acara mencuci atau memandikan gaman seperti keris dan tombak dari para sesepuh masyarakat.

Candi Dadi

candi-dadi

Komplek Candi Dadi berada pada ketinggian 360 m dari permukaan laut, berada di areal kehutanan di lingkungan RPH Kalidawir. Candi ini memiliki candi tunggal yang tidak memiliki tangga masuk, hiasan, maupun arca. Candi tersebut berdiri tegak pada puncak sebuah bukit di lingkungan pegunungan Walikukun. Denah candi berbentuk bujursangkar dengan ukuran panjang 14 m, lebar 14 m, dan tingi 6,50 m.

Bangunan berbahan batuan andesit itu terdiri atas batur dan kaki candi. Berbatur tinggi dan berpenampil pada setipa sisinya. Bagian atas batur merupakan kaki candi yang berdenah segi delapan, pada permukaan tampak bekas tembok berpenampang bulat yang kemungkinan berfungfi sebagai sumuran. Diameter sumuran adalah 3,35 dengan kedalaman 3 m.

Dalam perjalanan ke lokasi ini dapat dilihat sisa bangunan kuna yang masing-masing disebut Candi Urung, Candi Buto dan candi Gemali. Candi-candi yang disebut belakangan dapat dikatakan tidak terlihat lagi bentuknya, kecuali gundukan batuan andesit, itupun sudah dalam jumlah yang sangat kecil yang menandai keberadaannya dahulu.

Latar Belakang Sejarah
Berakhirnya kekuasaan Hayam wuruk juga merupakan masa suram bagi kehidupan agama Hindu-Budha. Pertikaian politik yang terjadi di lingkungan kraton memunculkan kekacauan, seiring dengan munculnya agama Islam. Dalam kondisi yang demikian, penganut Hindu-Budha yang berupaya menjauhkan diri dari pertikaian yang ada melakukan pengasingan agar tetap dapat menjalankan kepercayaan/tradisi yang dimilikinya.
Sebagian besar memilih bukit-bukit atau setidaknya kawasan yang tinggi dan sulit dijangkau. Biasanya tempat baru yang mereka pilih merupakan tempat yang jauh dari pusat keramaian maupun pusat pemerintahan. Candi Dadi adalah salah satu dari karya arsitektural masa itu, sekitar akhir abat XIV hingga akhir abat XV.

Candi Sanggrahan

candi-sanggrahan

Candi Sanggrahan terletak di Dusun Sanggrahan, Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu. Secara umum kompleks Candi Sanggrahan terdiri atas sebuah bangunan induk dan dua buah sisa bangunan kecil lainnya. Bangunan induk menggunakan batuan andesit dengan isian bata. Bangunan induk berukuran panjang 12,60 m, lebar 9,05 m, dan tinggi 5,86 m. Bangunan ini terdiri atas empat tingkat yang masing-masing berdenah bujursangkar dengan arah hadap ke barat.

Bangunan kecil yang berada disebelah timur bangunan induk hanya tersisa bagian bawahnya saja. Di tempat ini dulu terdapat lima buah arca Budha yang masing-masing memiliki posisi mudra yang berbeda (demi keamanan arca tersebut sekarang tersimpan di rumah Juru Pelihara).

Bangunan Candi Sanggrahan berada pada teras/undakan berukuran 5,10 m x 42,50 m. Pagar penahan undakan itu adalah bata setinggi tidak kurang dari dua meter.

Latar Belakang Sejarah

Para ahli sejarah menduga bahwa Candi Sanggrahan dibangun sebagai tempat peristirahatan rombongan pembawa jenazah pendeta wanita Budha kerajaan Majapahit bernama Gayatri yang bergelar Rajapadmi. Jenazah itu dibawa dari Kraton Majapahit untuk menjalani upacara pembakaran di sebuat tempat di sekitar Boyolangu. Belakangan abu jenazahnya disimpan di Candi Boyolangu. Dimungkinkan Candi Sanggrahan dibangun pada jaman Majapahit masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1359-1389 M).

sumber, tulungagung.go.id

Manten Kucing

temanten-kucing

Ritual “Temanten Kucing” yang digelar warga Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, tak bisa dilepaskan dari tradisi nenek moyang mereka. Tradisi itu merupakan bagian dari upaya warga untuk memohon turunnya hujan manakala terjadi musim kemarau panjang.

Sayangnya, perhelatan ritual “Temanten Kucing” kini tak sesakral ritual serupa yang dilangsungkan pada tahun-tahun sebelumnya. Perhelatan ritual “Temanten Kucing” saat ini cenderung semakin instan. Banyak tradisi-tradisi unik yang merupakan bagian dari prosesi “Temanten Kucing” yang kini justru dihilangkan.

Tiga tahun lalu, suasana sakral masih mewarnai prosesi “Temanten Kucing”. Saat itu, prosesi ritual ini masih menampilkan sejumlah keunikan. Misalnya, ketika pasangan manten kucing dipertemukan menjadi pengantin di pelaminan, beberapa wanita tua ikut tampil melantunkan tembang dolanan khas Jawa. “Uyek-uyek ranti, ono bebek pinggir kali, nuthuli pari sak uli, Tithit thuiiit… kembang opo? Kembang-kembang menur, ditandur neng pinggir sumur, yen awan manjing sak dulur, yen bengi dadi sak kasur,” Begitu syair tembang dolanan berbahasa Jawa yang tiga tahun lalu masih dilantunkan wanita-wanita tua dalam ritual “Temanten Kucing”.Tembang dolanan itu dilantunkan seraya memegangi dua tangan pasangan pengantin kucing.

Usai melantunkan tembang dolanan, mereka melempar-lemparkan buah pisang ke arah ribuan warga. Karuan saja, warga yang berjubel menyaksikan jalannya ritual “Temanten Kucing" saling berebut buah pisang yang diyakini bisa memberikan berkah. Namun, dalam prosesi “Temanten Kucing” yang dihelat Minggu pukul 10.30 WIB, keunikan-keunikan semacam ini sudah tidak tampak lagi. Prosesi mempertemukan pasangan “Temanten Kucing” cukup dihelat dengan pembacaan doa yang diikuti sejumlah sesepuh desa. Begitu doa-doa selesai, maka tuntas sudah perhelatan pengantin kucing. Sehingga timbul kesan, ritual “Temanten Kucing” cenderung simple dan instan.

Ambengan (sesajian) yang disuguhkan di pelaminan kucing lanang (kucing jantan) dan kucing wadon (kucing betina) juga tak sesemarak ritual serupa sebelumnya. Biasanya, warga menyediakan ambengan lengkap dalam jumlah banyak. Namun, kali ini terlihat hanya ada sebuah ambengan yang ditaruh di dekat kursi pelaminan pengantin kucing. Toh demikian, ritual “Temanten Kucing” tetap saja berlangsung marak. Maklum, ritual ini memang diyakini warga setempat sebagai wahana untuk memohon turunnya hujan. “Awalnya, tradisi “Temanten Kucing” memang menjadi sarana nenek moyang untuk memohon turunnya hujan,” kata Kepala Desa Pelem, Nugroho Agus, SE yang juga tokoh sentral penyelenggara ritual ini.

Agus menceritakan, upacara ritual “Temanten Kucing” dirintis ratusan tahun silam. Awalnya, daerah Pelem dilanda kemarau panjang yang membuat warga kebingungan mendapatkan air. Eyang Sangkrah, tokoh yang membabat Desa Pelem, suatu ketika mandi di telaga Coban. Dia mengajak serta seekor kucing condro mowo piaraannya. Sepulang Eyang Sangkrah memandikan kucing di telaga, tak lama berselang, di kawasan Desa Pelem turun hujan deras. Karuan saja, warga yang sudah lama menunggu-nunggu turunnya hujan tak bisa menyembunyikan rasa riangnya. “Mereka yakin, hujan turun ini ada kaitannya dengan Eyang Sangkrah yang baru saja memandikan kucing condro mowo,” tutur Agus menceritakan asal muasal sejarah “Temanten Kucing”.

Ketika Desa Pelem dijabat Demang Sutomejo pada 1926, desa ini kembali dilanda kemarau panjang. Saat itulah, ungkap Nugroho Agus, Eyang Sutomejo mendapat wangsit untuk memandikan kucing di telaga. Maka, dicarilah dua ekor kucing condro mowo. Lalu, dua ekor kucing itu dimandikan di telaga Coban. Dan, beberapa hari kemudian hujan mulai mengguyur di Desa Pelem dan sekitarnya. “Saat ini, kami menggelar ritual “Temanten Kucing” bukan semata-mata untuk minta hujan. Tapi, tradisi ini kami lestarikan untuk nguri-uri warisan nenek moyang,” kata Nugroho Agus yang masih ada hubungan cucu dengan Eyang Sutomejo. Keaslian ritual “Temanten Kucing” juga kian terkontaminasi seiring dikemasnya tradisi ini menjadi komoditas wisata.

Upacara ritual "Temanten Kucing" dihelat di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Sepasang Kucing Lanang (kucing jantan) dan Kucing Wadon (kucing betina) dipertemukan layaknya prosesi penganten. Tradisi rutin yang digelar untuk memohon turunnya hujan ini benar-benar menyedot perhatian warga. Prosesi “Temanten Kucing" mulai digelar di lereng pegunungan Coban Desa Pelem.

“Tradisi ini selalu dilakukan warga desa kami secara turun temurun. Dalam riwayatnya, upacara “Temanten Kucing” digelar untuk memohon turunnya hujan. Dalam upacara ini, sepasang kucing jantan dan kucing betina dipertemukan menjadi pasangan pengantin,” ujar Nugroho Agus, SE, Kepala Desa Pelem yang juga tokoh sentral pelestari ritual “Temanten Kucing”. Prosesi “Temanten Kucing” diawali dengan mengirab sepasang kucing jantan dan betina kucing warna putih yang dimasukkan dalam keranji.

Dua ekor kucing itu dibawa sepasang “pengantin” laki-laki dan wanita. Di belakangnya, berderet tokoh-tokoh desa yang mengenakan pakaian adat Jawa. Sebelum dipertemukan, pasangan “Temanten Kucing” dimandikan di telaga Coban. Secara bergantian, kucing jantan dan kucing betina dikeluarkan dari dalam keranji. Lalu, satu per satu dimandikan dengan menggunakan air telaga yang sudah ditaburi kembang.
Usai dimandikan, kedua kucing diarak menuju lokasi pelaminan. Di tempat yang sudah disiapkan aneka sesajian itu, pasangan kucing jantan dan betina itu “dinikahkan”. Sepasang laki-laki dan perempuan yang membawa kucing, duduk bersanding di kursi pelaminan. Sementara dua Temanten kucing berada di pangkuan kedua laki-laki dan wanita yang mengenakan pakian pengantin itu. Upacara pernikahan ditandai dengan pembacaan doa-doa yang dilakukan sesepuh desa setempat. Tak lebih dari 15 menit, upacara pernikahan pengantin kucing usai.

Lalu, prosesi “Temanten Kucing” dilanjutkan dengan pagelaran seni tradisional Tiban dan pagelaran langen tayub. Dalam seni tradisional Tiban, beberapa warga saling adu kekuatan dengan saling cambuk menggunakan lidi pohon aren yang dipilin. Tanpa mengenakan baju, sepasang warga bergantian adu cambuk hingga berdarah-darah. “Seni Tiban ini merupakan bagian tak terpisahkan dari upacara “Temanten Kucing”. Ini juga bagian dari ritual untuk memohon turunnya hujan,” ungkap Nugroho Agus di sela-sela memimpin jalannya prosesi “Temanten Kucing”.

sumber. Tulungagung.go.id

Reog Tulungagung

reog-tulungagung
Reog Tulungagung merupakan gubahan tari rakyat, menggambarkan arak-arakan prajurit Kedhirilaya tatkala mengiringi pengantin “Ratu Kilisuci“ ke Gunung Kelud, untuk menyaksikan dari dekat hasil pekerjaan Jathasura, sudahkah memenuhi persyaratan pasang-girinya atau belum. Dalam gubahan Tari Reog ini barisan prajurit yang berarak diwakili oleh enam orang penari.

Yang ingin dikisahkan dalam tarian tersebut ialah, betapa sulit perjalanan yang harus mereka tempuh, betapa berat beban perbekalan yang mereka bawa, sampai terbungkuk-bungkuk, terseok-seok, menuruni lembah-lembah yang curam, menaiki gunung-gunung, bagaimana mereka mengelilingi kawah seraya melihat melongok-longok ke dalam, kepanikan mereka, ketika “Sang Puteri“ terjatuh masuk kawah, disusul kemudian dengan pelemparan batu dan tanah yang mengurug kawah tersebut, sehingga Jathasura yang terjun menolong “Sang Puteri“ tewas terkubur dalam kawah, akhirnya kegembiraan oleh kemenangan yang mereka capai.

Semua adegan itu mereka lakukan melalui simbol-simbol gerak tari yang ekspresif mempesona, yang banyak menggunakan langkah-langkah kaki yang serempak dalam berbagai variasi, gerakan-gerakan lambung badan, pundak, leher dan kepala, disertai mimik yang serius, sedang kedua tangannya sibuk mengerjakan dhogdhog atau tamtam yang mereka gendong dengan mengikatnya dengan sampur yang menyilang melalui pundak kanan. Tangan kiri menahan dhogdhog, tangan kanannya memukul-mukul dhogdhog tersebut membuat irama yang dikehendaki, meningkahi gerak tari dalam tempo kadang-kadang cepat, kadang-kadang lambat. Demikian kaya simbol-simbol yang mereka ungkapkan lewat tari mereka yang penuh dengan ragam variasi, dalam iringan gamelan yang monoton magis, dengan lengkingan selompretnya yang membawakan melodi terus-menerus tanpa putus, benar-benar memukau penonton, seakan-akan berada di bawah hipnose.

Busana penari adalah busana keprajuritan menurut fantasi mereka dari unit reog yang bersangkutan. Di Tulungagung dan sekitar, bahkan sampai di luar daerah Kabupaten Tulungagung, sekarang sudah banyak bersebaran unit-unit reog sejenis, dan mereka memiliki seleranya masing-masing dalam memilih warna. Unit-unit yang terdiri dari golongan muda usia, biasanya memilih warna yang menyala, merah misalnya.
Sebuah unit reog dari desa Gendhingan, Kecamatan Kedhungwaru, Kabupaten Tulungagung, beranggotakan orang-orang dewasa, bahkan tua-tua. Mungkin karena kedewasaannya itu mereka sengaja memilih warna hitam sebagai latar dasar busananya, sedang atribut-atributnya berwarna cerah. Busana itu terdiri atas:
  1. Baju hitam berlengan panjang, bagian belakang kowakan untuk keris. Sepanjang lengan baju diberi berseret merah atau kuning, juga di pergelangan.
  2. Celana hitam, sempit, sampai di bawah lutut. Di samping juga diberi berseret merah memanjang dari atas ke bawah.
  3. Kain batik panjang melilit di pinggang, bagian depan menjulai ke bawah. Sebagai ikat pinggang digunakan setagen, kemudian dihias dengan sampur berwarna.
  4. Ikat kepala berwarna hitam juga, diberi iker-iker (pinggiran topi) tetapi berbentuk silinder panjang bergaris tengah 3 cm, dililitkan melingkari kepala. Warnanya merah dan putih.
  5. Atribut-atribut yang dipakai:
    • kacamata gelap atau terang;
    • sumping di telinga kanan dan kiri;
    • epolet di atas pundak, dengan diberi hiasan rumbai-rumbai dari benang perak;
    • sampur untuk selendang guna menggendong dhogdhog;
    • kaos kaki panjang.
Busana yang dikenakan oleh unit reog dari golongan muda usia, tidak jauh berbeda, hanya warna mereka pilih yang menyala, disamping hiasan-hiasan lain yang dianggap perlu untuk “memperindah“ penampilan, misalnya rumbai-rumbai yang dipasang melingkar pada iker-iker. Dalam pada itu pada kaki kiri dipasang gongseng, yaitu gelang kaki yang bergiring-giring. Tentang gamelan yang mengiringi dapat dituturkan sebagai berikut. Keenam instrumen dhogdhog, sebangsa kendhang atau ketipung, tetapi kulitnya hanya sebelah, yang ditabuh oleh penarinya sendiri, terbagi menurut fungsinya: dhogdhog kerep, dhogdhog arang, timbang-timbangan atau imbalan, keplak, trentheng dan sebuah lagi dipukul dengan tongkat kecil disebut trunthong. Di luar formasi ini ditambah dengan tiga orang pemain tambahan sebagai pemukul kenong, pemukul kempul, dan peniup selompret. Kenong dan kempul secara bergantian menciptakan kejelasan ritma, dan selompret membuat melodi lagu-lagu yang memperjelas pergantian-pergantian ragam gerak.

Berbeda dengan Reog Tulunggung yang ada di desa Gendhingan, pada reog sejenis di desa Ngulanwentah, Kabupaten Trenggalek, si penabuh kenong tidak mengambil tempat kumpul bersama kedua rekannya penabuh, melainkan ikut di arena, walaupun tidak menari, hanya mondar-mandir, atau berjalan keliling, atau menyelinap di antara keenam penrinya, sembari memukul kenong yang diayunkan ke depan dan ke belakang. Ia pun mengenakan busana serupa dengan busana penari, hanya dengan warna lain, dan tanpa iker-iker pada ikat kepalanya.

Lagu-lagu pengiringnya dipilih yang populer di kalangan rakyat, misalnya Gandariya, Angleng, Loro-loro, Pring-Padhapring, Ijo-ijo, dan lain-lain. Terdapat kecenderungan pada reog angkatan tua, (khususnya yang ada di desa Gendhingan), untuk menggunakan irama lambat dan penuh perasaan, yang oleh angkatan mudanya agaknya kurang disukai. Mereka, angkatan muda ini, lebih senang menggunakan irama yang “hot”, sesuai dengan gejolak jiwanya yang “dinamik”. Dalam hal ini AM Munardi menuliskan tanggapannya sebagai berikut:
Legendanya tarian itu mengiring temanten. Memang peristiwa ritual kita pada masa lampau tidak terlepas dari existensi tari. Sampai sekarang Reog Kendhang (= Reog Tulungagung, S.Tm.) juga sering ditampilkan orang dalam kerangka pesta perkawinan atau khitanan.

Dalam perkembangan akhir-akhir ini kemudian dipertunjukkan dalam pawai-pawai besar untuk memeriahkan hari-hari besar nasional. Untuk kepentingan yang akhir inilah kemudian orang membuat penampilan tari Reog Kendhang identik dengan “drum-band”. Maka gerak-gerik yang semula dirasa refined dan halus, cenderung dibuat lebih keras dan cepat. Derap-derap genderang ditirukan dengan pukulan-pukulan dhogdhog. Terompet bambu-kayu semacam sroten itu pun ditiup dengan lagu-lagu baru. Akibatnya musik diatonis itu pun dipaksakan dalam nada-nada pelog pentatonis.

Dalam timbre yang tak mungkin berkualitas sebuah drum-band modern, maka cara seperti itu menjadi berkesan dangkal. Pada suatu kesempatan menonton pertunjukan Reog Kendhang di Desa Gendhingan, Kecamatan Kedhungwaru, Tulungagung, maka terasa benarlah bahwa proses penampilan Reog Kendhang yang pada umumnya dipopulerkan oleh para remaja itu cenderung menuju pendangkalan.

Penampilan oleh para penari golongan tua di desa tersebut terasa benar bobotnya. Geraknya yang serba tidak tergesa-gesa lebih memperjelas pola tari yang sesungguhnya cukup refined. Kekayaan pola lantainya terasa benar menyatu dengan lingkungan.

Memperbandingkan Reog Kendhang di Gendhingan ini dengan Reog Kendhang para remaja pada umumnya menjadi semakin jelas adanya keinginan untuk tampilnya garapan-garapan baru, tetapi tidak dimulai dengan pendasaran yang kokoh. Ya, kadang-kadang orang terlalu cepat mengidentikkan arti “dinamika” dengan gerak yang serba keras dan cepat.

Seperti halnya dengan rekannya Reog Dhadhakmerak di Ponorogo, maka sebagai tontonan rakyat, Reog Tulungagung (Reog Kendhang) pun tidak akan kehilangan peranannya sebagai penghibur atau pemeriah suasana di mana saja warga desa mempunyai hajat. Perkawinan, khitanan, kelahiran, tingkeban, bersih desa, musim panen, dan lain sebagainya. Mungkin sekarang tidak selaris dulu, sebelum musik pop berirama dangdut merajai pasaran dimana-mana Namun, pada hajat-hajat yang masih ada hubungannya dengan kepercayaan yang bersifat sakral atau yang masih mempunyai sifat-sifat tradisional, kesenian reog masih diperlukan.

Dalam perarakan pengantin misalnya, maka fungsi Reog Kendhang tidak saja sebagai pengiring yang memeriahkan suasana atau sekedar manghibur semata-mata, melainkan bahkan pun sebagai penjaga keselamatan mempelai laki-laki yang diarak. Mungkin ini sisa-sisa kepercayaan legendarik, bahwa reog dulunya merupakan sepasukan prajurit Kedhirilaya yang bertugas menjaga keselamatan sang pengantin “Ratu Kilisuci”. Kepercayaan itu menjadi naluri yang masih terus dipelihara, walaupun tinggal sepercik upacara simbolik belaka, atau hanya tiru-tiru. Tetapi yang jelas, apakah itu upacara atau pun tiru-tiru, tiap-tiap hajat selalu mengharapkan keselamatan, dalam hal ini terutama keselamatan perkawinan kedua mempelai tentunya. Jadi Reog berfungsi sebagai penolak bala, begitulah kira-kira.

sumber, Tulungagung.go.id

Kentrung


kentrung

Banyak di antara kita yang tidak lagi mengenal Kentrung, salah satu kesenian yang dimainkan oleh sebuah grup dengan seperangkat alat musik yang terdiri dari kendang, ketipung dan jidor. Kentrung adalah salah satu kesenian bertutur, seperti layaknya wayang kulit.

Hanya saja Kentrung tidak disertai adegan wayang. Sepanjang pementasanya Kentrung hanya diisi oleh seorang dalang yang merangkap sebagai penabuh gendang dan ditemani oleh penyenggak yang menabuh rebana (jidor). Dulu Kentrung banyak dipentaskan pada berbagai hajatan masyarakat seperti syukuran kelahiran anak, khitanan, pitonan, maupun mudun lemah.

Kentrung sarat akan nilai-nilai dakwah. Materi lakon-nya pada umumnya menceritakan tentang ketauladanan zaman Khalifah Empat, Wali Songo dan zaman Mataram Islam. Ada juga yang terkait dengan sejarah di Pulau Jawa yang banyak dipengaruhi oleh Hindu dan Budha. Di antara lakon-lakonnya yang populer adalah Nabi yusuf, Syeh Subakir, Amad Muhammad, Kiai Dullah, Amir Magang, Sabar-Subur, Marmaya Ngentrung, Sunan Kalijaga, Ajisaka dan Babad Tanah Jawa. Selain itu kerap juga membabarkan mengenai nilai-nilai tasawuf dengan mengupas berbagai topik seperti Purwaning Dumadi, Keutaman, Kasampurnan Urip, dan Sangkan Paraning Dumadi. Kentrung juga sarat dengan pesan-pesan moral yang tercermin pada tembang-tembang Kentrung, diantaranya Kembang-Kembangan; Kembang Terong Abang Biru Moblong-Moblong, dan Sak Iki Wis Bebas Ngomong, Ojo Clemang-Clemong (bunga terong berwarna merah biru mencorong, sekarang ini sudah bebas berbicara, tetapi jangan celometan).

Prof. Dr. Suripan Sudi Hutomo dalam bukunya Kentrung mengatakan kesenian ini berkembang pada abad XVI di Kediri, Blitar, Tulungagung, Tuban dan Ponorogo. Versi awal kesenian ini cukup beragam. Ada yang menyebut Kentrung sebagai kesenian asli bangsa Indonesia. Namun versi lain mengatakan Kentrung berasal dari jazirah Arab, Persia, dan India. Yang pasti, sebagai sarana dakwah, pada masa kejayaannya Kentrung diminati masyarakat. Kentrung mencapai zaman keemasannya pada tahun 1970-an hingga 1980-an. Selama dua dasawarsa itu hampir seluruh masyarakat yang berpesta mengudang Kentrung. Di awal 90-an, ketika televisi makin murah dan layar tancap menawarkan altenatif hiburan yang praktis, Kentrung mulai terseok.

Dari catatan Seksi Kebudayaan Diknas Tulungagung pada tahun 70-an hampir setiap desa di Tulungagung memiliki kelompok Kentrung. Namun saat ini hanya tinggal 1 saja yang masih bertahan. Diknas Tulungagung pernah menyarankan agar kelompok-kelompok Kentrung tidak terpaku pada pakem, tapi menampilkan inovasi baru. Misal, mencampur dengan teknik penampilan kesenian lain, kalau perlu mengambil metode campursari. Lenyapnya apresiasi masyarakat, dan menyusutnya komunitas seniman Kentrung, juga mengakibatkan tidak terjadinya regenerasi dan pewarisan. Serbuan kesenian modern seperti layar tancap, dangdut, atau memutar VCD menjadi penyebab utama hilangnya Kentrung di tengah masyarakat. Kentrung tidak sendiri. Kesenian tradisional lainnya; Ketoprak, Ludruk, Langen Tayub, Jaranan, dan Jathilan, juga mengalami nasib serupa. Namun khusus untuk Kentrung, jalan menuju kematiannya lebih disebabkan oleh sikap masyarakatnya yang lebih suka menjadikan kesenian sebagai tontonan, bukan tuntunan. Jadi, tidak aneh jika perilaku masyarakat sekarang juga berubah karena kesenian tidak lagi berisi tuntunan-tuntunan.

Meskipun sekarang ini Kentrung mulai meredup, beberapa seniman muda mulai menggeluti Kentrung dengan mengembangkan inovasi-inovasi baru seperti menggabungkanya dengan lawakan dan ludruk. Suatu usaha dari seniman muda yang patut mendapat dukungan dan apresiasi dalam melestarikan Kentrung.

sumber, Tulungagung.go.id

Tayub (langen Bekso)

tayub

Anggapan Tayub sebagai tarian mesum merupakan penilaian yang keliru. Sebab, tidak seluruh Tayub identik dengan hal-hal yang negatif. Dalam Tayub, ada kandungan nilai-nilai positif yang adiluhung. Selain itu, Tayub juga menjadi simbol yang kaya makna tentang pemahaman kehidupan dan punya bobot filosofis tentang jati diri manusia. 

Kesan Tayub sebagai tarian mesum muncul pada abad 19. Pada 1817, GG Rafles dari Inggris, dalam bukunya berjudul ''History of Java'', menulis Tayub sebagai tarian ronggeng mirip pelacuran terselubung. Kesan sama juga dituliskan oleh peneliti asal Belanda, G Geertz dalam bukunya ''The Religion of Java''.
Tapi, menurut koreografer Tayub Wonogiren, S Poedjosiswoyo BA, orang Jawa akan protes bila kesan Rafles dan Gertz itu diterima secara utuh. Sebab, kata dia, kesan mesum yang diberikan pada Tayub hakikatnya terbatas pada pandangan sepintas yang baru melihat kulitnya saja, tanpa mau mengenali isi maupun kandungan nilai filosofisnya.

Dalam buku ''Bauwarna Adat Tata Cara Jawa'' karangan Drs R Harmanto Bratasiswara disebutkan, Tayuban adalah tari yang dilakukan oleh wanita dan pria berpasang-pasangan. Keberadaan Tayub berpangkal pada cerita kadewatan (para dewa-dewi), yaitu ketika dewa-dewi mataya (menari berjajar-jajar) dengan gerak yang guyub (serasi).

Menurut Poedjosiswoyo, berdasarkan sejarahnya, Tayub lahir sebagai tarian rakyat pada abad Ke XI. Waktu itu, Raja Kediri berkenan mengangkatnya ke dalam puri keraton dan membakukannya sebagai tari penyambutan tamu keraton. Betapa Tayub memiliki kandungan nilai adiluhung, kiranya dapat disimak dari tulisan dalam buku ''Gending dan Tembang'' yang diterbitkan Yayasan Paku Buwono X.

Dalam buku itu disebutkan, Tayub telah dipakai untuk penobatan Prabu Suryowiseso sebagai Raja Jenggala, Jawa Timur, pada abad XII. Keraton Jenggala kemudian kemudian membakukan Tayub sebagai tari adat kerajaan, yang mewajibkan permaisuri raja menari ngigel (goyang) di pringgitan untuk menjemput kedatangan raja.

Nilai Agamis
Tayub juga diyakini memiliki kandungan nilai agamis. Hal itu terjadi pada abad XV, ketika Tayub digunakan sebagai media syiar agama Islam di pesisir utara Jawa oleh tokoh agama Abdul Guyer Bilahi, yang selalu mengawali pagelaran ayub dengan dzikir untuk mengagungkan asma Allah.

Budaya kejawen penganut paham tasawuf menilai Tayub kaya kandungan filosofis akan gambaran jati diri manusia lengkap dengan anasir keempat nafsunya. Dalam tarian itu selalu ada penari pria yang menjadi tokoh sentral, sebagai visualisasi keberadaan Mulhimah. Kemudian dilengkapi dengan empat penari pria pendamping, yang disebut sebagai pelarih, sebagai penggambaran anasir empat nafsu manusia, terdiri atas aluamah (hitam), amarah (merah), sufiah (kuning) dan mutmainah (putih).

Selain itu, pemeran penari tledhek wanita sebagai penggambaran dari cita-cita keselarasan hidup yang diidamkan manusia. ''Yang inti kesimpulannya, untuk meraih cita-cita, harus terlebih dahulu mampu mengendalikan anasir empat nafsu. Yang ini identik dengan pakem wayang lakon Harjuno Wiwoho-Dewi Suprobo,'' kata Poedjosiswoyo.

Di Tulungagung, Tayub juga dikenal sebagai Lelangen Beksa. Kesenian ini berpotensi sebagai sarana pergaulan yang merakyat dan aktual. Hampir di setiap bulan "baik", Lelangen Beksa digelar untuk acara hajatan di daerah pinggiran Tulungagung.

Sumber. Tulungagung.go.id

Tiban (tradis minta hujan)


tiban

Tiban, merupakan suatu permainan dua orang saling cambuk mencambuk. Cambuk yang dipergunakan tersebut dari lidi aren juga diancam (dipintal). Inti permainan ini adalah latihan keberanian, tetapi umumnya permainan ini dimainkan bersamaan dengan upcara "meminta hujan". Kita memang tidak dapat menunjukkan dari zaman apa tarian/permainan ini asal mulanya.

Tetapi melihat pelaksanaan permainan ini biasanya pada musim kering, dimana petani-petani sangat mengharapkan adanya hujan, maka nama permainan itulah yang mempunyai arti magis. Tiban berasal dari kata "tiba", yang artinya jatuh. Dalam hal ini dengan diadakannya permainan itu diharapkan agar "jatuh hujan" pada saat-saat kering itu. Kepercayaan semacam ini tentu tidak terlepas dari unsur dinamisme/animisme yang memang pernah hidup di tanah air kita. Pelaksanaan permainan Tiban didahului dengan sembahyang Istiqa.
Tiban merupakan salah satu budaya tradisional daerah Wajak yang merupakan suatu permainan adu kekuatan daya tahan tubuh dengan menggunakan cambuk sebagai senjatanya. Istilah Tiban muncul pada zaman pemerintahan Tumenggung Surontani II. Hal ini dimaksudkan untuk mencari bibit-bibi tprajurit yang tangguh dan gagah perkasa. Sampai sekarang kesenian Tiban masih dilestarikan di daerah Wajak dan sekitarnya. Bahkan setiap digelar Tiban, masyarakat "Tumplek Blek" memadati lapangan. Berikutnya laporan  Hariyanto.

Kesenian tradisional Tiban sudah mendarah daging masyarakat Wajak Lor Kecamatan Boyolangu Kobupaten Tulungagung. Suntu permainan adu kekuatan daya tahan tubuh dengan menggunakan Cambuk sebagai senjatanya. Berdasarkan sejarah budirinya daerah Wajak, istilah Tiban rnuilcul pada zaman pemerintahan Tumenggung Surontani II. Hal ini dimaksudkan untuk mencari bibit-bibit prajurit yang tnngguh dan gagah perkasa yang nantinya akan dipersiapkan untuk menghadapi Kerajaan Mataram.

Menurut tokoh masyarakat Wajak Lor Sayuti. Kisah itu berawal para era Tumenggung Surontani II. Dewi Roro Pilang anak kandung Tumenggung Surontani II dihamili oleh Gusti Panembahan Senopati Mataram, pada waktu penobatan Tumenggung Suwantri II. Mendengar peristiwa tersebut Tumenggung Surontani II menjadi murka, ia memerintahkan senopatinya untuk meminta pertanggungjawaban dari Gusti Penembahan Senopati di Mataram. Sambil menanti kabar dari senopatinya, Tumenggung Surontani II mengadakan pertunjukan adu kekuatan yang sekaligus sebagai hiburan rakyat. Pertunjukan tersebut dinamakan "Tiban". Sebenarnya semua itu merupakan taktik Tumenggung Surontani II untuk mencari bibit prajurit yang dipersiapkan untuk menghadapi serangan.

Senopati murka atas pengiriman Patih Tumenggung Surontani II untuk meminta pertanggungjawaban dan beliau mengirimkan pasukannya untuk menyerang KetemenggunganWajak.

Sayuti, mantan Purn.TNI Yonif 511 yang juga sebagai landang Tiban (wasit) menjelaskan dari kisah itulah masyarakat wajak, menjadikan Tiban sebagai tradisi di daerah Wajak. Bahkan sampai saat ini tradisi tersebut masih mendarah daging dalam tubuh masyarakat Wajak. Namun demikian pada perkembangannya, Tiban mempunyai tujuan yang berbeda dari tujuan pada waktu pertama kali diadakan Tiban.
Sayuti yang juga mantan karateka atau pendekar Wajak menceritakan pada jaman pada penjaiahan Belanda, Tiban masih terus dilaksanakan lebih-lebih ketika mendapat dukungan dari pemerintah Belanda.
Ada beberapa sebab Tiban yang dilaksanakan di daerah Wajak selalu mendapat dukungan pemerintah Belanda.

Pertama, Tiban dalam pelaksanaanya penuh dengan peristiwa persabungan yang dijadikan alat adu domba oleh pemerintah Belanda.
Kedua, sejak kedatangannya di Desa Wajak, dengan diadakannya pertunjukan Tiban, dalam benak, pemerintanan Belanda, tersimpan suatu rasa kagum terhadap kekuatan orang-orong di Pulau Jawa. Mereka berkeyakinan bahwa orang-orong Jawa itu hebat.
Sampai sekarang Tiban masih tetap membudaya dalam masyarakat daerah Wajak. Namun telah mengalami perubahan dalam hal tujuan diadakannya pertunjukan tersebut. Tujuan Tiban semula yakin untuk mencari prajurit-prajurit yang tangguh, sudah dianggap tidak lagi berfungsi atau berguna bagi masyarakat Wajak yang ada di negara Indonesia yang sudah merdeka. Sehingga masyarakat sebagai pendukung dari kebudayaan akan mengadakan refisi/perubahan terhadap tujuan dari kesenian Tiban tersebut.
Dari proses itulah saat ini Tiban telah mempunyai tujuan baru yang telah disetujui oleh masyarakat Wajak. Yaitu Tiban dijadikan alat untuk meminta hujan. Pada waktu meminta terjadi kemarau panjang.
Dengan demikian di Desa wajak sendiri telah terjadi perubahan kebudayaan yang mengasilkan kebudayaan yang dianggap berfungsi atau berguna sehingga dapat dijadikan pedoman hidup bermasyarakat.
Pelaksanaan Tiban dilaksanakan pada musim kemarau. Tak heran demi hujan berbagai upaya dilakukan, baik oleh kalangan intelektual atau kaum supranaturalis dan masyarakat awam. Kerinduan masyarakat dengan adanya hujan tersebut dibeli dengan darah, yang dilakukan melalui pertunjukan Tiban.
Lewat peristiwa sakral yang penuh persabungan kanuragan dan adu kesaktian itu, mereka berusaha mendatangkan hujan. Tradisi demikian berkembang sampai ke pelosok daerah Kabupaten Blitar, Trenggalek, Kediri, dan Ponorogo.

Sayuti menjelaskan setiap kegiatan memerlukan persiapan yang matang, tak terkecuali Tiban, yang metupakan kegiatan yang harus dibeli dengan darah. Terlebih dahulu, sebelum "H"nya diadakan persiapan yang benar-benar matang pada diri jagoan-jogoan Tiban yang menginginkan terjun di dalam kalangan dan bergantung dengan jagaan Tiban lainnya.

Masyarakat Wajak mempunyai cara tersendiri dalam mempersiapkan diri sebagai jagoan Tiban yang handal. Persiapan khusus yang dilakukan oleh Jagoan Tiban antara lain pada malam hari sebelum hari pelaksanaan Tiban mereka tidur di dekat makam para pendiri daerah Wajak, khususnya di dekat kuburan Tumenggung Surontani II selaku pelaksana Tiban awal mulanya daerah Wajak.

Dalam sejarah lain menyebutkan bahwa sebelum dilaksanakannya Tiban, kegiatan ini dibuka dengan upacara "Ngedus Kucing". Dalam upacara ini kucing disiram dengan air kembang spiritual lebih dulu membaca mantra-mantra.
Sementara cerita rakyat Tulungagung tentang asal usul ngedus kucing ini antara lain merebutkan. Konon bermula dari musim kemarau yang amat panjang yang menimpa daerah itu. Dalam situasi yang memprihatinkan itu seorong janda yang tidak diketahui sebelumnya tiba-tiba melihat seekor kucing yang amat kotor bulunya berniat ingin membersihkan bulu kucing itu. Secara kebetulan Mbok Rondo (sebut saja demikian) melihat sebuah mata air yang tidak mancur. Bak gayung bersambut, kucing tersebut langsung saja dimandikan. Tidak berselang lama keanehan terjadi. Secara tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Dengan pesta masyarakat menyambut kehadiran hujan yang telah mengakhiri kemarau panjang itu dengan Tiban. Lama-lama acara Ngedus Kucing itu menjadi kegiatan awal dalam Tiban, mereka mengharap keadaan turunnya hujan itu, terjadi pula dalam akhir Tiban.

Pelaksanaan Tiban dapat diikuti oleh siapa saja dan membutuhkan keberanian yang tinggi pada umumnya pelaksanaan Tiban lebih mendominasi oleh para keturunan pelaksanaan Tiban yang dahulu, tetapi tidak jarang pelaksanaan, jagoan Tiban muncul dari kalangan mayarakat umum dan tentunya mereka mempunyai keberanian dan kesaktian yang dapat diandalkan.
Dalam pelaksanaan Tiban penuh dengan peristiwa bersabungan itu berlangsung satu lawan satu. Masing-masing jagoan bersenjatakan ujung cambuk khas Tiban yang terbuat dari lidi daun aren. Sedang peristiwa pencambukan berlangsung secara bergiliran artinya bila seorang pemain mendapat giliran, mencambuk lawannya hanya boleh menadah (mengelak atau menangkis dengan ujungnya).

Sayuti yang selalu sebagai landang Tiban menambahkan dalam aturan main, masing-masing jagoan Tiban diharuskan bertelanjang dada dan yang boleh dicambuk hanya bagian badan saja. Bila terjadi pelanggaran dalam pertarungan, maka landang yang memberi keputusan.
Bagi seorang jagoan Tiban yang militan, meskipun tubuhnya telah penuh dengan luka akibat sabetan cambuk lawan, pantang mundur dari acuan sebelum benar-benar tidak berdaya. Para pemain Tiban yang demikian seringkali disanjung-sanjung sebagai jagoan Tiban yang mengakibatkan para pemain Tiban tersebut akan lebih bangga dan muncul rasa tidak kenal takut pada dirinya.

sumber, Tulungagung.go.id

Daftar nama Desa dan Kecamatan

Daftar nama Desa dan Kecamatan yang ada di Kabupaten Tulungagung. Secara administrasi Kabupaten Tulungagung dibagi menjadi 19 (sembilan belas) kecamatan, 257 desa serta 14 kelurahan.

1
Tulungagung
1)
Bago



2)
Botoran



3)
Jepun



4)
Kampungdalem



5)
Karangwaru



6)
Kauman



7)
Kedungsuko



8)
Kenayan



9)
Kepatihan



10)
Kutoanyar



11)
Panggungrejo



12)
Sembung



13)
Tamanan



14)
Tretek






2
Bandung
1)
Bandung



2)
Bantengan



3)
Bulus



4)
Gandong



5)
Kedungwilut



6)
Kesambi



7)
Mergayu



8)
Ngepeh



9)
Nglampir



10)
Ngunggahan



11)
Sebalor



12)
Singgit



13)
Soko



14)
Sukoharjo



15)
Suruhan Kidul



16)
Suruhan Lor



17)
Suwaru



18)
Talun Kulon






3
Besuki
1)
Besuki



2)
Besole



3)
Keboireng



4)
Sedayugunung



5)
Siyoto Bagus



6)
Tanggulkundung



7)
Tanggulturus



8)
Tanggulwelahan



9)
Tulungrejo



10)
Wateskroyo






4
Boyolangu
1)
Beji



2)
Bono



3)
Boyolangu



4)
Gedangsewu



5)
Karangrejo



6)
Kendalbulur



7)
Kepuh



8)
Moyoketen



9)
Ngranti



10)
Pucungkidul



11)
Sanggrahan



12)
Serut



13)
Sobontoro



14)
Tanjungsari



15)
Wajak Kidul



16)
Wajak Lor



17)
Waung






5
Campurdarat
1)
Campurdarat



2)
Gamping



3)
Gedangan



4)
Ngentrong



5)
Pelem



6)
Pojok



7)
Sawo



8)
Tanggung



9)
Wates






6
Gondang
1)
Bendo



2)
Bendungan



3)
Blendis



4)
Dukuh



5)
Gondang



6)
Gondosuli



7)
Jarakan



8)
Kendal



9)
Kiping



10)
Macanbang



11)
Mojoarum



12)
Ngrendeng



13)
Notorejo



14)
Rejosari



15)
Sepatan



16)
Sidem



17)
Sidomulyo



18)
Tawing



19)
Tiudan



20)
Wonokromo






7
Kalidawir
1)
Banyuurip



2)
Betak



3)
Domasan



4)
Jabon



5)
Joho



6)
Kalibatur



7)
Kalidawir



8)
Karangtalun



9)
Ngubalan



10)
Pagersari



11)
Pakisaji



12)
Rejosari



13)
Salak Kembang



14)
Sukorejo Kulon



15)
Tanjung



16)
Tunggangri



17)
Winong





















8
Karangrejo
1)
Babatan



2)
Bungur



3)
Gedangan



4)
Jeli



5)
Karangrejo



6)
Punjul



7)
Sembon



8)
Sukodono



9)
Sukorejo



10)
Sukowidodo



11)
Sukowiyono



12)
Tanjungsari



13)
Tulungrejo






9
Kauman
1)
Balerejo



2)
Banaran



3)
Batangsaren



4)
Bolorejo



5)
Jatimulyo



6)
Kalangbret



7)
Karanganom



8)
Kates



9)
Kauman



10)
Mojosari



11)
Panggungrejo



12)
Pucangan



13)
Sidorejo






10
Kedungwaru
1)
Bangoan



2)
Boro



3)
Bulusari



4)
Gendingan



5)
Kedungwaru



6)
Ketanon



7)
Loderesan



8)
Majan



9)
Ngujang



10)
Mangunsari



11)
Winong



12)
Plandaan



13)
Plosokandang



14)
Rejoagung



15)
Ringinpitu



16)
Simo



17)
Tapan



18)
Tawangsari



19)
Tunggulsari






11
Ngantru
1)
Banjarsari



2)
Batokan



3)
Bendosari



4)
Kepuhrejo



5)
Mojoagung



6)
Ngantru



7)
Padangan



8)
Pakel



9)
Pinggirsari



10)
Pojok



11)
Pucung Lor



12)
Pulerejo



13)
Srikaton






12
Ngunut
1)
Balesono



2)
Gilang



3)
Kacangan



4)
Kalangan



5)
Kaliwungu



6)
Karangsono



7)
Kromasan



8)
Ngunut



9)
Pandansari



10)
Pulosari



11)
Pulotondo



12)
Purworejo



13)
Samir



14)
Selorejo



15)
Sumberejo Kulon



16)
Sumberejo Wetan



17)
Sumberingin Kidul



18)
Sumberingin Kulon






13
Pagerwojo
1)
Gambiran



2)
Gondanggunung



3)
Kedungcangkring



4)
Kradinan



5)
Mulyosari



6)
Pagerwojo



7)
Penjor



8)
Samar



9)
Segawe



10)
Sidomulyo



11)
Wonorejo






14
Pakel
1)
Bangunjaya



2)
Bangunmulyo



3)
Bono



4)
Duwet



5)
Gebang



6)
Gempolan



7)
Gesikan



8)
Gombang



9)
Kasreman



10)
Ngebong



11)
Ngrance



12)
Pakel



13)
Pecuk



14)
Sambitan



15)
Sanan



16)
Sodo



17)
Sukoanyar



18)
Suwaloh



19)
Tamban






15
Pucanglaban
1)
Demuk



2)
Kalidawe



3)
Kaligentong



4)
Manding



5)
Panggungkalak



6)
Panggungnguni



7)
Pucanglaban



8)
Sumberbendo



9)
Sumberdadap






16
Rejotangan
1)
Aryojeding



2)
Banjarejo



3)
Blimbing



4)
Buntaran



5)
Jatidowo



6)
Karangasari



7)
Pakisrejo



8)
Panjerejo



9)
Rejotangan



10)
Sukorejo Wetan



11)
Sumberagung



12)
Tanen



13)
Tegalrejo



14)
Tenggong



15)
Tenggur



16)
Tugu






17
Sendang
1)
Dono



2)
Geger



3)
Kedoyo



4)
Krosok



5)
Ngluruk



6)
Ngluntung



7)
Nyawangan



8)
Picisan



9)
Sendang



10)
Talang



11)
Tugu






18
Sumbergempol
1)
Bendiljati Kulon



2)
Bendiljati Wetan



3)
Bendilwungu



4)
Bukur



5)
Doroampel



6)
Jabalsari



7)
Junjung



8)
Mirigambar



9)
Podorejo



10)
Sambidoplang



11)
Sambijajar



12)
Sambirobyong



13)
Sumberdadi



14)
Tambakrejo



15)
Trenceng



16)
Wates



17)
Wonorejo






19
Tanggunggunung
1)
Jengglungharjo



2)
Kresikan



3)
Ngepoh



4)
Ngrejo



5)
Pakisrejo



6)
Tanggunggunung



7)
Tenggarejo

Sumber Data : Bappeda Kabupaten Tulungagung