Tiban, merupakan suatu permainan dua
orang saling cambuk mencambuk. Cambuk yang dipergunakan tersebut dari
lidi aren juga diancam (dipintal). Inti permainan ini adalah latihan
keberanian, tetapi umumnya permainan ini dimainkan bersamaan dengan
upcara "meminta hujan". Kita memang tidak dapat menunjukkan dari zaman
apa tarian/permainan ini asal mulanya.
Tetapi melihat pelaksanaan permainan ini
biasanya pada musim kering, dimana petani-petani sangat mengharapkan
adanya hujan, maka nama permainan itulah yang mempunyai arti magis.
Tiban berasal dari kata "tiba", yang artinya jatuh. Dalam hal ini dengan
diadakannya permainan itu diharapkan agar "jatuh hujan" pada saat-saat
kering itu. Kepercayaan semacam ini tentu tidak terlepas dari unsur
dinamisme/animisme yang memang pernah hidup di tanah air kita.
Pelaksanaan permainan Tiban didahului dengan sembahyang Istiqa.
Tiban merupakan salah satu budaya
tradisional daerah Wajak yang merupakan suatu permainan adu kekuatan
daya tahan tubuh dengan menggunakan cambuk sebagai senjatanya. Istilah
Tiban muncul pada zaman pemerintahan Tumenggung Surontani II. Hal ini
dimaksudkan untuk mencari bibit-bibi tprajurit yang tangguh dan gagah
perkasa. Sampai sekarang kesenian Tiban masih dilestarikan di daerah
Wajak dan sekitarnya. Bahkan setiap digelar Tiban, masyarakat "Tumplek
Blek" memadati lapangan. Berikutnya laporan
Hariyanto.
Kesenian tradisional Tiban sudah
mendarah daging masyarakat Wajak Lor Kecamatan Boyolangu Kobupaten
Tulungagung. Suntu permainan adu kekuatan daya tahan tubuh dengan
menggunakan Cambuk sebagai senjatanya. Berdasarkan sejarah budirinya
daerah Wajak, istilah Tiban rnuilcul pada zaman pemerintahan Tumenggung
Surontani II. Hal ini dimaksudkan untuk mencari bibit-bibit prajurit
yang tnngguh dan gagah perkasa yang nantinya akan dipersiapkan untuk
menghadapi Kerajaan Mataram.
Menurut tokoh masyarakat Wajak Lor
Sayuti. Kisah itu berawal para era Tumenggung Surontani II. Dewi Roro
Pilang anak kandung Tumenggung Surontani II dihamili oleh Gusti
Panembahan Senopati Mataram, pada waktu penobatan Tumenggung Suwantri
II. Mendengar peristiwa tersebut Tumenggung Surontani II menjadi murka,
ia memerintahkan senopatinya untuk meminta pertanggungjawaban dari Gusti
Penembahan Senopati di Mataram. Sambil menanti kabar dari senopatinya,
Tumenggung Surontani II mengadakan pertunjukan adu kekuatan yang
sekaligus sebagai hiburan rakyat. Pertunjukan tersebut dinamakan
"Tiban". Sebenarnya semua itu merupakan taktik Tumenggung Surontani II
untuk mencari bibit prajurit yang dipersiapkan untuk menghadapi
serangan.
Senopati murka atas pengiriman Patih
Tumenggung Surontani II untuk meminta pertanggungjawaban dan beliau
mengirimkan pasukannya untuk menyerang KetemenggunganWajak.
Sayuti, mantan Purn.TNI Yonif 511 yang
juga sebagai landang Tiban (wasit) menjelaskan dari kisah itulah
masyarakat wajak, menjadikan Tiban sebagai tradisi di daerah Wajak.
Bahkan sampai saat ini tradisi tersebut masih mendarah daging dalam
tubuh masyarakat Wajak. Namun demikian pada perkembangannya, Tiban
mempunyai tujuan yang berbeda dari tujuan pada waktu pertama kali
diadakan Tiban.
Sayuti yang juga mantan karateka atau
pendekar Wajak menceritakan pada jaman pada penjaiahan Belanda, Tiban
masih terus dilaksanakan lebih-lebih ketika mendapat dukungan dari
pemerintah Belanda.
Ada beberapa sebab Tiban yang dilaksanakan di daerah Wajak selalu mendapat dukungan pemerintah Belanda.
Pertama, Tiban dalam pelaksanaanya penuh dengan peristiwa persabungan yang dijadikan alat adu domba oleh pemerintah Belanda.
Kedua, sejak kedatangannya di Desa
Wajak, dengan diadakannya pertunjukan Tiban, dalam benak, pemerintanan
Belanda, tersimpan suatu rasa kagum terhadap kekuatan orang-orong di
Pulau Jawa. Mereka berkeyakinan bahwa orang-orong Jawa itu hebat.
Sampai sekarang Tiban masih tetap
membudaya dalam masyarakat daerah Wajak. Namun telah mengalami perubahan
dalam hal tujuan diadakannya pertunjukan tersebut. Tujuan Tiban semula
yakin untuk mencari prajurit-prajurit yang tangguh, sudah dianggap tidak
lagi berfungsi atau berguna bagi masyarakat Wajak yang ada di negara
Indonesia yang sudah merdeka. Sehingga masyarakat sebagai pendukung dari
kebudayaan akan mengadakan refisi/perubahan terhadap tujuan dari
kesenian Tiban tersebut.
Dari proses itulah saat ini Tiban telah
mempunyai tujuan baru yang telah disetujui oleh masyarakat Wajak. Yaitu
Tiban dijadikan alat untuk meminta hujan. Pada waktu meminta terjadi
kemarau panjang.
Dengan demikian di Desa wajak sendiri
telah terjadi perubahan kebudayaan yang mengasilkan kebudayaan yang
dianggap berfungsi atau berguna sehingga dapat dijadikan pedoman hidup
bermasyarakat.
Pelaksanaan Tiban dilaksanakan pada
musim kemarau. Tak heran demi hujan berbagai upaya dilakukan, baik oleh
kalangan intelektual atau kaum supranaturalis dan masyarakat awam.
Kerinduan masyarakat dengan adanya hujan tersebut dibeli dengan darah,
yang dilakukan melalui pertunjukan Tiban.
Lewat peristiwa sakral yang penuh
persabungan kanuragan dan adu kesaktian itu, mereka berusaha
mendatangkan hujan. Tradisi demikian berkembang sampai ke pelosok daerah
Kabupaten Blitar, Trenggalek, Kediri, dan Ponorogo.
Sayuti menjelaskan setiap kegiatan
memerlukan persiapan yang matang, tak terkecuali Tiban, yang metupakan
kegiatan yang harus dibeli dengan darah. Terlebih dahulu, sebelum "H"nya
diadakan persiapan yang benar-benar matang pada diri jagoan-jogoan
Tiban yang menginginkan terjun di dalam kalangan dan bergantung dengan
jagaan Tiban lainnya.
Masyarakat Wajak mempunyai cara
tersendiri dalam mempersiapkan diri sebagai jagoan Tiban yang handal.
Persiapan khusus yang dilakukan oleh Jagoan Tiban antara lain pada malam
hari sebelum hari pelaksanaan Tiban mereka tidur di dekat makam para
pendiri daerah Wajak, khususnya di dekat kuburan Tumenggung Surontani II
selaku pelaksana Tiban awal mulanya daerah Wajak.
Dalam sejarah lain menyebutkan bahwa
sebelum dilaksanakannya Tiban, kegiatan ini dibuka dengan upacara
"Ngedus Kucing". Dalam upacara ini kucing disiram dengan air kembang
spiritual lebih dulu membaca mantra-mantra.
Sementara cerita rakyat Tulungagung
tentang asal usul ngedus kucing ini antara lain merebutkan. Konon
bermula dari musim kemarau yang amat panjang yang menimpa daerah itu.
Dalam situasi yang memprihatinkan itu seorong janda yang tidak diketahui
sebelumnya tiba-tiba melihat seekor kucing yang amat kotor bulunya
berniat ingin membersihkan bulu kucing itu. Secara kebetulan Mbok Rondo
(sebut saja demikian) melihat sebuah mata air yang tidak mancur. Bak
gayung bersambut, kucing tersebut langsung saja dimandikan. Tidak
berselang lama keanehan terjadi. Secara tiba-tiba hujan turun dengan
lebatnya. Dengan pesta masyarakat menyambut kehadiran hujan yang telah
mengakhiri kemarau panjang itu dengan Tiban. Lama-lama acara Ngedus
Kucing itu menjadi kegiatan awal dalam Tiban, mereka mengharap keadaan
turunnya hujan itu, terjadi pula dalam akhir Tiban.
Pelaksanaan Tiban dapat diikuti oleh
siapa saja dan membutuhkan keberanian yang tinggi pada umumnya
pelaksanaan Tiban lebih mendominasi oleh para keturunan pelaksanaan
Tiban yang dahulu, tetapi tidak jarang pelaksanaan, jagoan Tiban muncul
dari kalangan mayarakat umum dan tentunya mereka mempunyai keberanian
dan kesaktian yang dapat diandalkan.
Dalam pelaksanaan Tiban penuh dengan
peristiwa bersabungan itu berlangsung satu lawan satu. Masing-masing
jagoan bersenjatakan ujung cambuk khas Tiban yang terbuat dari lidi daun
aren. Sedang peristiwa pencambukan berlangsung secara bergiliran
artinya bila seorang pemain mendapat giliran, mencambuk lawannya hanya
boleh menadah (mengelak atau menangkis dengan ujungnya).
Sayuti yang selalu sebagai landang Tiban
menambahkan dalam aturan main, masing-masing jagoan Tiban diharuskan
bertelanjang dada dan yang boleh dicambuk hanya bagian badan saja. Bila
terjadi pelanggaran dalam pertarungan, maka landang yang memberi
keputusan.
Bagi seorang jagoan Tiban yang militan,
meskipun tubuhnya telah penuh dengan luka akibat sabetan cambuk lawan,
pantang mundur dari acuan sebelum benar-benar tidak berdaya. Para pemain
Tiban yang demikian seringkali disanjung-sanjung sebagai jagoan Tiban
yang mengakibatkan para pemain Tiban tersebut akan lebih bangga dan
muncul rasa tidak kenal takut pada dirinya.
sumber, Tulungagung.go.id
sumber, Tulungagung.go.id
No comments:
Post a Comment