Anggapan Tayub sebagai tarian mesum
merupakan penilaian yang keliru. Sebab, tidak seluruh Tayub identik
dengan hal-hal yang negatif. Dalam Tayub, ada kandungan nilai-nilai
positif yang adiluhung. Selain itu, Tayub juga menjadi simbol
yang kaya makna tentang pemahaman kehidupan dan punya bobot filosofis
tentang jati diri manusia.
Kesan Tayub sebagai tarian mesum muncul
pada abad 19. Pada 1817, GG Rafles dari Inggris, dalam bukunya berjudul
''History of Java'', menulis Tayub sebagai tarian ronggeng mirip
pelacuran terselubung. Kesan sama juga dituliskan oleh peneliti asal
Belanda, G Geertz dalam bukunya ''The Religion of Java''.
Tapi, menurut koreografer Tayub
Wonogiren, S Poedjosiswoyo BA, orang Jawa akan protes bila kesan Rafles
dan Gertz itu diterima secara utuh. Sebab, kata dia, kesan mesum yang
diberikan pada Tayub hakikatnya terbatas pada pandangan sepintas yang
baru melihat kulitnya saja, tanpa mau mengenali isi maupun kandungan
nilai filosofisnya.
Dalam buku ''Bauwarna Adat Tata Cara
Jawa'' karangan Drs R Harmanto Bratasiswara disebutkan, Tayuban adalah
tari yang dilakukan oleh wanita dan pria berpasang-pasangan. Keberadaan
Tayub berpangkal pada cerita kadewatan (para dewa-dewi), yaitu ketika
dewa-dewi mataya (menari berjajar-jajar) dengan gerak yang guyub
(serasi).
Menurut Poedjosiswoyo, berdasarkan
sejarahnya, Tayub lahir sebagai tarian rakyat pada abad Ke XI. Waktu
itu, Raja Kediri berkenan mengangkatnya ke dalam puri keraton dan
membakukannya sebagai tari penyambutan tamu keraton. Betapa Tayub
memiliki kandungan nilai adiluhung, kiranya dapat disimak dari tulisan
dalam buku ''Gending dan Tembang'' yang diterbitkan Yayasan Paku Buwono
X.
Dalam buku itu disebutkan, Tayub telah
dipakai untuk penobatan Prabu Suryowiseso sebagai Raja Jenggala, Jawa
Timur, pada abad XII. Keraton Jenggala kemudian kemudian membakukan
Tayub sebagai tari adat kerajaan, yang mewajibkan permaisuri raja menari
ngigel (goyang) di pringgitan untuk menjemput kedatangan raja.
Nilai Agamis
Tayub juga diyakini memiliki kandungan
nilai agamis. Hal itu terjadi pada abad XV, ketika Tayub digunakan
sebagai media syiar agama Islam di pesisir utara Jawa oleh tokoh agama
Abdul Guyer Bilahi, yang selalu mengawali pagelaran ayub dengan dzikir
untuk mengagungkan asma Allah.
Budaya kejawen penganut paham tasawuf
menilai Tayub kaya kandungan filosofis akan gambaran jati diri manusia
lengkap dengan anasir keempat nafsunya. Dalam tarian itu selalu ada
penari pria yang menjadi tokoh sentral, sebagai visualisasi keberadaan
Mulhimah. Kemudian dilengkapi dengan empat penari pria pendamping, yang
disebut sebagai pelarih, sebagai penggambaran anasir empat nafsu
manusia, terdiri atas aluamah (hitam), amarah (merah), sufiah (kuning)
dan mutmainah (putih).
Selain itu, pemeran penari tledhek wanita
sebagai penggambaran dari cita-cita keselarasan hidup yang diidamkan
manusia. ''Yang inti kesimpulannya, untuk meraih cita-cita, harus
terlebih dahulu mampu mengendalikan anasir empat nafsu. Yang ini identik
dengan pakem wayang lakon Harjuno Wiwoho-Dewi Suprobo,'' kata
Poedjosiswoyo.
Di Tulungagung, Tayub juga dikenal
sebagai Lelangen Beksa. Kesenian ini berpotensi sebagai sarana pergaulan
yang merakyat dan aktual. Hampir di setiap bulan "baik", Lelangen Beksa
digelar untuk acara hajatan di daerah pinggiran Tulungagung.
Sumber. Tulungagung.go.id
No comments:
Post a Comment