Tuesday 31 March 2015

Cerita Kyai Upas 4

Kyai upas adalah nama sebuah pusaka berbentuk tombak, dengan landeannya sepanjang tidak kurang dari 5 meter. Pusaka ini berasal dari Mataram yang dibawa oleh R.M. Tumenggung Pringgodiningrat putra dari pangeran Notokoesoemo.di Pekalongan yang menjadi menantu Sultan Jogyakarta ke II (Hamengku Buwono II yang bertahta pada tahun 1792-1828), ialah ketika R.T Pringgodiningrat diangkat menjadi Bupati Ngrowo (Tulungagung sekarang). Disamping pusaka itu ada kelengkapannya yang dalam istilah Jawa disebut “pangiring” berwujud 1 pragi gamelan pelok slendro yang diberi nama “Kyai Jinggo Pengasih” beserta 1 kotak wayang purwo lengkap dengan kelirnya.

Pusaka dan pengiring ini tidak boleh dipisahkan dan sekarang tersimpan dibekas pensiunan Bupati Pringgokusumo di desa Kepatihan Tulungagung. Inilah yang oleh masyarakat Tulungagung dianggap sebagai pusaka daerah.

Sejak dari R.M Tumenggung Pringgodiningrat pusaka tadi dipelihara baik– baik, turun temurun kepada R.M. Djayaningrat (Bupati Ngrwo V) lalu kepada R.M Somodiningrat (Bupati ke VI) kemudian kepada R.T. Gondokoesoemo (Bupati ke VIII) dan selanjutnya diwariskan kepada adiknya ialah R.M Tumenggung Pringgokoesoemo (Bupati Ngrowo yang ke X).

Setelah R.M.T Pringgokoesoemo pensiun dalam tahun 1895 dan wafat pada tahun 1899, maka pemeliharaan pusaka diteruskan oleh Raden Aju Jandanya, sedang hak temurun pada puteranya yang bernama R.M Moenoto Notokoesoemo Komisaris Polisi di Surabaya. Sejak tahun 1907 pemeliharaan pusaka berada di tangan menantu dari R.M.T Pringgokoesoemo yaitu R.P.A Sosrodiningrat Bupati Tulunngagung yang ke XIII, dan sejak jaman Jepang diteruskan oleh saudaranya yang bernama R.A Hadikoesoemo. Setelah R.A Hadikoesoemo wafat tugas ini diambil alih kembali oleh R.M. Notokoesoemo.

Cerita KYAI UPAS 3



CERITA DI WAJAK
Tentang cerita asal-usul Kyai Upas di Wajak itu ada cerita yang sangat berlainan dengan cerita diatas. Cerita inipun juga menyinggung tentang Mentaok.
Pada waktu itu calon Sultan Mataram masih bernama Kyai Ageng Senopati. Pada suatu hari ia bertamu ke Wajak, disitu ia disuguh sirih oleh Bupati daerah itu.
Wajak adalah suatu daerah yang terletak disebelah selatan Tulungagung, tetapi Tulungagung belum menjadi suatu negeri, masih berwujud hutan kayu tahun. Daerah disebelah timur Tranggalih juga termasuk wilayah Wajak.
Senopati langsung menuju Wajak dengan mengendarai abdinya, seekor kuda yang bernama Djurutaman, ialah seekor kuda jilmaan jin, yang dulu dalam suatu peperangan dapat dialahkan oleh Senopati. Kuda itu diceritakan dapat terbang, dan berkecepatan seperti angin. Pertemuan di Wajak itu disuguhi.dengan pagelaran wayang klitik. Senopati merasa payah, tidur dengan bersandar pada tiang gung. Dalam tidurnya itu ia bermimpi bertemu dengan puteri Bupati itu. Pada waktu itu juga kuda jelmaan itu pulang ke Mataram menjilma sebagai manusia yang menyerupai Senopati. Ia Bermaksud hendak menemui istri senopati di dalam rumah di Mataram.
Senopati yang tidur bersandar pada tiang gung itu tidak mengetahui bahwa kudanya menghianati.
Tengah malam Sunan Kalijogo datang membangunkan dan melemparkannya ke Mentaok. Jurutaman yang menjilma sebagai tunagannya itu diketahui oleh Senopati dan ditusuk matanya yang sebelah kanan dengan cis sehingga menjadi buta sebelah.
Puteri Wajak yang muncul dalam impian tadi beberapa waktu kemudian hamil, padahal ia belum bersuami. Supaya tidak mendapat malu puteri itu harus meninggalkan Wajak menuju ke suatu hutan perawan di daerah Wahung, disitu dia melahirkan bayinya dibuang ketempat yang sunyi. Waktu itu ada seekor ular yang keluar dan terus mengejar bayi yang dibuang itu untuk mencaploknya. Tetapi tidak ditelan, melainkan dikulum saja. Ibu si bayi itu menjadi takut dan malu, terus pergi meniggalkan Wahung Bupati Wajak mengetahui bahwa putrinya pergi. Ia memerintahkan punggawanya untuk mencari puterinya itu. Adapun punggawa yang diperintahkan itu bernama Rijobodo.
Rijobodo terus berangkat mencari, keluar hutan masuk hutan, namun ia tak dapat menemukannya..
Pada suatu ketika ia mendapat ilham, yaitu ia disuruh mencari bekas tempat bayi tadi dibuang. Setelah sampai ke tempat itu diketemukannya sebuah tombak dan ular yang menyaplok bayi tersebut. Lama kelamaan yang dicarinya itu dapat diketemukan, yaitu didaerah Banyuwangi. Sang putri beserta tombak itu terus dibawa pulang. Sesampainya di Wajak diurus, apa sebabnya sampai lolos dari Kabupaten.
Sang Bupati menuduh bahwa Senopati telah membuat aib kepada putrinya. Oleh sebab itu disayembarakan, bahwa barang siapa dapat membunuh Senopati di Mentaok, akan dijadikan pengganti jabatan Tumenggung di Wajak.
Para Menteri menyanggupi. Mereka disuruh memerangi Mentaok dan kepada pemukanya dibawakan tombak tersebut sebagai alat senjatanya. Mereka itupun berangkatlah .
Sesampainya di Mentaok dijumpainya Senopati dan ditusuknya dengan tombak itu menjadi bengkok. Setelah diketahui oleh Senopati akan tombak itu berkatalah :
“Tombakmu itu adalah penjilmaan dari putraku, mana mungkin ia berani kepadaku? Oleh karena itu ia menjadi bengkok.” Sudahlah sekarang ini lebih baik kamu semua pulang saja. Kembalikanlah tombak ini kepada paman Bupati. Tombak ini adalah sebuah senjata yang ampuh, kelak akan menjadi pusaka bagi daerah “ Ngrowo”.
Para Menteri yang memerangi Senopati itu terus pulang ke Wajak dengan tangan hampa. Sesampainya di Wajak dikatakan pesan-pesan Senopati itu kepada Bupati.
Sang Bupati tidak mau menerima tombak itu kembali.
Disuruhnya orang untuk mengembalikan ke asalnya, ke Wahung.
Tumbak itu dikembalikan, dan lenyap dari Wahung.
Kemudian hari banyak orang yang mengetahui bahwa tombak tadi terdapat tegak menancap di bumi daerah Wahung, dengan dikerumuni oleh tombak-tombak yang lain, yang banyak jumlahnya. Setelah didengar oleh Bupati Wajak akan berita itu, lalu disayembarakan, bagi siapa saja yang dapat mengambil Kyai Upas, dialah calon pembesar ditempat itu. Kemudian hari ternyata seorang yang dapat mengambilnya.
Orang itu bernama Ronggo Katepan Ngabehi. Nenurut cerita orang, Ronggo tersebut tidak berpusar dan sangat sakti.

Cerita Kyai Upas 2

Pada akhir Pemerintahan Mojopahit banyak keluarga raja yang membuang gelarnya sebagai bangsawan dan melarikan diri ke Bali, Jawa Tengah, Jawa Barat.
Salah seorang keluarga raja bernama WONOBOJO melarikan diri ke Jawa Tengah dan babad hutan disekitar wilayah Mataram sekat rawa Pening Ambarawa. Wonobojo mempunyai anak yang bernama MANGIR.
Setelah Wonobojo dapat membabat hutan maka ia bergelar Ki Wonobojo, dan dukuh tersebut dinamakan dukuh MANGIR sesuai dengan nama puteranya.
Pada suatu hari Ki Wonobojo mengadakan selamatan BERSIH DESA.
Banyak pemuda pemudi yang membantu didapur. Diantara orang-orang yang berada di dapur terdapat seorang pemudi yang lupa membawa pisau, dan terpaksa meminjam pisau dari Ki Wonobojo. Ki Wonobojo bersedia meminjaminya, tetapi karena pisau yang dipinjamkan itu pisau pusaka, maka ada pantangannya, ialah jangan sekali-2 ditaruh dipangkuan.
Tetapi sang pemudi itu lupa. Pada waktu ia beristirahat, pisau itu dipangkunya, dan seketika itu musnahlah pusaka tadi. Dengan hilangnya pisau tersebut sang pemudi hamil.
Ia menangis dan menceritakan persoalan ini kepada Ki Wonobojo.
Ki Wonobojo sangat prihatin, dan pergi bertanya di puncak gunung Merapi.
Ketika telah datang saatnya melahirkan, maka sang ibu yang hamil itu bukannya melahirkan bayi, tetapi berupa Ular Naga. Ular itu diberi nama BARU KLINTING. Baru Klinting dibesarkan di rawa pening. Setelah menjadi dewasa, maka ia menanyakan siapa ayahnya, dan dijawab oleh sang ibu bahwa ayahnya ialah Ki Wonobojo yang pada waktu itu sedang bertapa di puncak gunung Merapi.
Baru Klinting menyusul ayahnya, pergi ke gunung Merapi.ki Wonobojo mau mengakui sebagai anaknya, asalkan Baru Klinting dapat melingkari puncak Merapi.
Baru Klinting segera mencoba melingkarinya, tetapi ketika kurang sedikit ia menjulurkan lidah untuk menyambung antara kepala dan ekornya. Ki Wonobojo setelah mengetahui hal itu segera memotong lidah Baruklinting terebut, yang mana setelah putus lalu berubah menjadi sebilah tombak.
Baru Klinting melarikan diri ke selatan, dan setelah mengetahui bahwa Ki Wonobojo mengejarnya, ia lalu menyeburkan diri ke laut yang kemudian berubah menjadi sebatang kayu. Kayu tersebut diambil oleh Ki Wonobojo dan dipergunakan sebagai LANDEAN dari pada tombaknya. Tombak tersebut dinamakan KYAI UPAS, dan ketika Ki Wonobojo meninggal dunia, pusaka itu dimiliki oleh puteranya yang bernama Mangir.
Setelah ia menggantikan kedudukan ayahnya lalu bergelar Ki Adjar Mangir.
Ki Adjar Mangir menjadi seorang yang kebal karena pusakanya. Desanya menjadi ramai dan banyak pendatang yang bertempat tinggal di situ.
Ki Adjar Mangir akhirnya tak mau tunduk kepada Mataram, dan ingin berdiri sendiri. Ia melepaskan diri dari ikatan kekuasaan raja.
Setelah sang raja mengetahui tindakan Ki Adjar, maka lalu diadakan musyawrah dengan keluarga Kraton, bagaimana caranya agar dapat menundukan Ki Adjar Mangir kembali. Kalau diadakan kekerasan tak mungkin karena Ki Adjar memiliki senjata ampuh sebagai pusaka kepercayaannya.
Bilamana Mataram menang, tidak akan harum namanya tetapi andaikata kalah tentu sangat memalukan. Akhirnya diperoleh suatu cara yang dapat memancing ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya. Dikirimkannyalah rombongan telik sandi yang berpura-pura mbarang jantur untuk menyelidiki kelemahan Ki Adjar Mangir. Putra putri dari sang Raja telah dikorbankan untuk menjadi waranggono dan masuk ke desa Mangir. Jebagan sang Raja mengenai sasarannya.
Ketika Ki Mangir mengetahui ada orang mbarang jantur, dan waranggononya kelihatan cantik, maka ia terpikatlah.
Setelah menangkapnya, maka tertariklah ia akan kecantikannya sang laku sandi, sehingga kemudian terpaksa ditanyakan untuk dijadian istrinya. Terjadilah perkawinan antara Ki Mangir dan putri Raja.
Setelah lama hidup bersuami istri, maka pada suatu hari sang Putri menceritakan bahwa sebenarnya ia berasal dari Mataram, termasuk keluarga bahkan putra putri dari sang Radja.
Ia mengatakan meskipun radja Mataram itu musuh daripada Ki Mangir, namun mengingat bahwa sekarang ia menjadi mertuanya, malah tidak sebaiknya sebagai putra menantu mau menghadap untuk menghaturkan sembah bakti.
Bilamana Ki Adjar Mangir dianggap berdosa dan bersalah, maka sang Putri berserdia memohonkan maaf kepada sang Raja sebagai ayahnya.
Dari desakan istrinya akhirnya Ki Adjar Mangir meluluskan permohonan sang Putri dan bersama-sama menghadap Raja. Pusaka tombak juga dibawanya. Tetapi karena tujuannya untuk menghaturkan sembah bakti, maka pusaka tersebut tidak dibawanya masuk kraton. Alkisah ketika Ki Mangir sedang menghaturkan sungkem kepada Raja, maka kepalanya dipegang oleh bapak mertuanya dan dibenturkan pada tempat duduknya yang dibuat dari batu pualam, sehingga Ki Adjar Mangir meninggal pada saat itu juga. Batu ntuk membenturkan kepala Ki Adjar itu menurut ceritera masih ada, ialah di Kota Gede dan disebut WATU GATENG, yang mana sekarang menjadi objek touris.
Ki Adjar Mngir dimakamkan di Kota Gede dekat makam Raja. Adapun makamnya Mangir separo badan ada didalam tembok sedang yang separo berada di luar. Ini menandakan bahwa meskipun ia musuh Raja juga termasuk anak menantu.
Sepeninggal Ki Mangir terserang pageblug, menurut kepercayaan yang menjadi sebabnya adalah pusaka Kyai Upas.
Adapun yang kuat ketempatan ialah putra Raja yang menjadi Bupati di Ngrowo (Tulungagung sekarang). Hal ini sesuai dengan asal usulnya pusaka, ialah bahwa Baru Klinting pernah dibesarkan di daerah rawa-rawa.
Semenjak itu pusaka Kyai Upas menjadi pusaka keluarga yang turun- temurun bagi para Bupati yang menjabat di Tulungagung.

Demikian cerita yang bersumber dari orang-orang yang lazim disebut sebagai cerita rakyat atau babad.

Asal Usul Tombak Kyai Upas 1

Cerita tentang asal-usul tombak kyai upas banyak beredar di masyarakat. Cerita ini merupakan salah satu riwayat dari keluarga Pringgo Koesoemo. Cerita ini dimuat di buku Sejarah dan Babat Tulungagung terbitan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tulungagung.

 
Sumber. Tulungagung.go.id



Pada akhir Pemerintahan Mojopahit banyak keluarga raja yang membuang gelarnya sebagai bangsawan dan melarikan diri ke Bali, Jawa Tengah, Jawa Barat.
Salah seorang keluarga raja bernama WONOBOJO melarikan diri ke Jawa Tengah dan babad hutan disekitar wilayah Mataram sekat rawa Pening Ambarawa. Wonobojo mempunyai anak yang bernama MANGIR.

Setelah Wonobojo dapat membabat hutan maka ia bergelar Ki Wonobojo, dan dukuh tersebut dinamakan dukuh MANGIR sesuai dengan nama puteranya.
Pada suatu hari Ki Wonobojo mengadakan selamatan BERSIH DESA.
Banyak pemuda pemudi yang membantu didapur. Diantara orang-orang yang berada di dapur terdapat seorang pemudi yang lupa membawa pisau, dan terpaksa meminjam pisau dari Ki Wonobojo. Ki Wonobojo bersedia meminjaminya, tetapi karena pisau yang dipinjamkan itu pisau pusaka, maka ada pantangannya, ialah jangan sekali-2 ditaruh dipangkuan.
Tetapi sang pemudi itu lupa. Pada waktu ia beristirahat, pisau itu dipangkunya, dan seketika itu musnahlah pusaka tadi. Dengan hilangnya pisau tersebut sang pemudi hamil.
Ia menangis dan menceritakan persoalan ini kepada Ki Wonobojo.
Ki Wonobojo sangat prihatin, dan pergi bertanya di puncak gunung Merapi.
Ketika telah datang saatnya melahirkan, maka sang ibu yang hamil itu bukannya melahirkan bayi, tetapi berupa Ular Naga. Ular itu diberi nama BARU KLINTING. Baru Klinting dibesarkan di rawa pening. Setelah menjadi dewasa, maka ia menanyakan siapa ayahnya, dan dijawab oleh sang ibu bahwa ayahnya ialah Ki Wonobojo yang pada waktu itu sedang bertapa di puncak gunung Merapi.
Baru Klinting menyusul ayahnya, pergi ke gunung Merapi.ki Wonobojo mau mengakui sebagai anaknya, asalkan Baru Klinting dapat melingkari puncak Merapi.

Baru Klinting segera mencoba melingkarinya, tetapi ketika kurang sedikit ia menjulurkan lidah untuk menyambung antara kepala dan ekornya. Ki Wonobojo setelah mengetahui hal itu segera memotong lidah Baruklinting terebut, yang mana setelah putus lalu berubah menjadi sebilah tombak.
Baru Klinting melarikan diri ke selatan, dan setelah mengetahui bahwa Ki Wonobojo mengejarnya, ia lalu menyeburkan diri ke laut yang kemudian berubah menjadi sebatang kayu. Kayu tersebut diambil oleh Ki Wonobojo dan dipergunakan sebagai LANDEAN dari pada tombaknya. Tombak tersebut dinamakan KYAI UPAS, dan ketika Ki Wonobojo meninggal dunia, pusaka itu dimiliki oleh puteranya yang bernama Mangir.
Setelah ia menggantikan kedudukan ayahnya lalu bergelar Ki Adjar Mangir.
Ki Adjar Mangir menjadi seorang yang kebal karena pusakanya. Desanya menjadi ramai dan banyak pendatang yang bertempat tinggal di situ.
Ki Adjar Mangir akhirnya tak mau tunduk kepada Mataram, dan ingin berdiri sendiri. Ia melepaskan diri dari ikatan kekuasaan raja.

Setelah sang raja mengetahui tindakan Ki Adjar, maka lalu diadakan musyawrah dengan keluarga Kraton, bagaimana caranya agar dapat menundukan Ki Adjar Mangir kembali. Kalau diadakan kekerasan tak mungkin karena Ki Adjar memiliki senjata ampuh sebagai pusaka kepercayaannya.
Bilamana Mataram menang, tidak akan harum namanya tetapi andaikata kalah tentu sangat memalukan. Akhirnya diperoleh suatu cara yang dapat memancing ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya. Dikirimkannyalah rombongan telik sandi yang berpura-pura mbarang jantur untuk menyelidiki kelemahan Ki Adjar Mangir. Putra putri dari sang Raja telah dikorbankan untuk menjadi waranggono dan masuk ke desa Mangir. Jebagan sang Raja mengenai sasarannya.
Ketika Ki Mangir mengetahui ada orang mbarang jantur, dan waranggononya kelihatan cantik, maka ia terpikatlah.

Setelah menangkapnya, maka tertariklah ia akan kecantikannya sang laku sandi, sehingga kemudian terpaksa ditanyakan untuk dijadian istrinya. Terjadilah perkawinan antara Ki Mangir dan putri Raja.
Setelah lama hidup bersuami istri, maka pada suatu hari sang Putri menceritakan bahwa sebenarnya ia berasal dari Mataram, termasuk keluarga bahkan putra putri dari sang Radja.
Ia mengatakan meskipun radja Mataram itu musuh daripada Ki Mangir, namun mengingat bahwa sekarang ia menjadi mertuanya, malah tidak sebaiknya sebagai putra menantu mau menghadap untuk menghaturkan sembah bakti.
Bilamana Ki Adjar Mangir dianggap berdosa dan bersalah, maka sang Putri berserdia memohonkan maaf kepada sang Raja sebagai ayahnya.

Dari desakan istrinya akhirnya Ki Adjar Mangir meluluskan permohonan sang Putri dan bersama-sama menghadap Raja. Pusaka tombak juga dibawanya. Tetapi karena tujuannya untuk menghaturkan sembah bakti, maka pusaka tersebut tidak dibawanya masuk kraton. Alkisah ketika Ki Mangir sedang menghaturkan sungkem kepada Raja, maka kepalanya dipegang oleh bapak mertuanya dan dibenturkan pada tempat duduknya yang dibuat dari batu pualam, sehingga Ki Adjar Mangir meninggal pada saat itu juga. Batu ntuk membenturkan kepala Ki Adjar itu menurut ceritera masih ada, ialah di Kota Gede dan disebut WATU GATENG, yang mana sekarang menjadi objek touris.

Ki Adjar Mngir dimakamkan di Kota Gede dekat makam Raja. Adapun makamnya Mangir separo badan ada didalam tembok sedang yang separo berada di luar. Ini menandakan bahwa meskipun ia musuh Raja juga termasuk anak menantu.
Sepeninggal Ki Mangir terserang pageblug, menurut kepercayaan yang menjadi sebabnya adalah pusaka Kyai Upas.

Adapun yang kuat ketempatan ialah putra Raja yang menjadi Bupati di Ngrowo (Tulungagung sekarang). Hal ini sesuai dengan asal usulnya pusaka, ialah bahwa Baru Klinting pernah dibesarkan di daerah rawa-rawa.
Semenjak itu pusaka Kyai Upas menjadi pusaka keluarga yang turun- temurun bagi para Bupati yang menjabat di Tulungagung.