Saturday 12 December 2015

Tidak ada yang Percuma Semua Ciptaan Tuhan

By: Ypi W

Mendo,bodho  atau dengan kata lain sulit diajak berfikir adalah sesuatu yang bikin seseorang minder. Kalaupun ada seseorang yang  mendo pastinya dengan sekuat tenaga akan menutupinya biar  nggak kelihatan, sebenarnya relatif sih.Tapi semua itu nggak berlaku buatku,nyantai aja.  selama ini Mendo seakan menjadi jimat keberuntungan. Akhir-akhir ini aku berfikir, semua yang ku dapatkan selama ini adalah buah dari kemendoanku.
Ini cerita tentang mendo karunia Tuhan yang harus kusyukuri.
 Berawal saat masih smp saat itu sekitar tahun 2006, pada masa itu anak-anak smp lagi gandrung-gandrungnya dengan yang namanya gelutan (berkelahi) dan membuat geng-gengan, kalaupun ada anak cowok yang punya nyali namun tidak memiliki geng,  saat itu pasti udah mati berdiri jadi bahan tonjok-tonjokan atau buli-bulian salah sedikit tonjok hahahhaah.
Nyali bertarung tersebut muncul nggak loko-loko (tiba-tiba), pastinya ada background yang jelas dari masing-masing anak, entah ikut organisasi beladiri, atau punya relasi dengan orang kuat kaya lagunya slank biar bisa tidur-tiduran. Waktu itu aku masih baru masuk Sekolah, rasa takut malu minder jadi satu, takut salah berbuat, malu karena aku masih anak baru, minder karena penampilanku kurang ganteng  wkwkwk.
Yang pasti hari-hari selalu salah tingkah saat di Sekolah. Dan kejadian itupun terjadi, waktu itu aku sedang berjalan di lorong Sekolah, didepanku ada segerombolan anak sedang duduk-duduk, aku udah curiga kok pandangan salah satu cowok nggak enak banget, kuteruskan langkahku saat tiba dihadapannya diapun berdiri “mati aku” “Heh ndak sah plilak-plilik, sing penak ae lek nyawang, cah ngendi awakmu ( Heh gak usah (apa plilak plilik bahasa endonesianya)..... yang enak aja kalau melihat,  anak mana kamu?” aku jawab “ aku cah ” (aku anak ). Kenapa aku bilang anak ? Karena di  adalah basis organisasi silat A. “ ngendi koe? Cedake si B, Ow yowes gak usah kemlelet neng kene ( mana? Dekatnya si B, Ow yaudah gak usah belagu lu disini) selamat dah aku. Usut punya usut cowok tadi ikut organisasi A, otomatis dia respek banget sama anak-anak .
 Disini kemendoanku menyelamatkanku untuk pertama kalinya hahahaha bersukur dah. Gimana bisa dibilang menyelamatkan, sebenarnya aku bukan anak  tapi karena aku dulu waktu SD pernah nggerombol sama anak  yan umurnya diatasku. Waktu itu aku sering ikut ke sungai disuruh beliin sandal disuruh beliin rokok, disuruh ambilin bola saat sepak bola dan masih banyak lagi, apa daya aku hanyalah anak mendo yang hanya dapat diambil tenaganya. Tapi aku bersyukur andai kata aku nggak mendo aku gak akan kenal relasi orang-orang kuat hehe makasih temen-temen  dan aku pasti udah bonyok di awal masuk smp.


Friday 11 December 2015

Antara Aku Kau dan Hujan

By: PTK

Bangun pagi adalah perjuangan yang berat. Melebihi tugas ketika sekolah. Bukan apa-apa, jam tidurku sudah berubah semenjak beberapa bulan yang lalu. Entah mengapa kok saya menyanggupi ketika kau ajak untuk ke Blitar, rumah kakakmu yang mungkin saja menjadi kakak iparku (ngarep).  Pagi itu kau sudah tiba, dengan senyummu yang bisa meruntuhkan amarah Rahwana kusambut pagi ini. Kau cantik hari ini, dan aku suka kayak lagunya blackout. Tapi ada yang kurang, bukankah wanita akan terlihat cantik ketika bangun tidur? Tanpa make up masih alami. 
Akhirnya kita berangkat, seperti lagu naik delman kududuk dimuka, bukan samping  pak kusir, tapi aku yang jadi sopir. Ga papa, demi kamu. Layaknya kawan lama, kita mulai obrolan dengan santai, entah siapa yang memulai, kau bercerita tentang mantanmu. Iya, ternyata kisahmu kandas, Alhamdulillah. Berita baik hari ini bagiku, tak sia-sia kubangun pagi.
Tak terasa sampai juga di rumah kakakmu. Layaknya calon istriable kamu langsung menawarkan untuk membuatkan kopi tanpa di minta.
Kopi tik? Sambil melepas jaket dan kerudung.
Iyo wis lak dipekso. (iya kalau dipaksa) maklum saya kan pemalu.
Kamu langsung ke dapur untuk menjerang air, sambil menunggu kopi selesai diseduh aku melepas jaket. Tak lupa berandai-andai. Iya, hanya andai-andai. Untuk orang seperti saya apa to yang dipunya selain tenogo lan tresno? Tentu berandai-andai adalah hiburan gratis yang dapat dilakukan kapan saja.
Monggo diunjuk kopine, begitu katamu tiba-tiba yang membuyarkan lamunanku. Ah, kembali senyum itu tersungging. Dalam hati saya berani bertaruh, andai kopi ini gak dikasih gula pasti sudah manis.

kopi iki gaweanmu? Sambil saya mulai menyeruput kopi.
iyo ngopo emange?
ndak apa-apa. hanya saja kopimu iki kemanisen. Betul kan kalau kopinya bakal kemanisen.

Sarapan yuk, oke kataku. Blitar memiliki warung pecel yang lumayan terkenal bahkan sampai membuka cabang di Jakarta. Kami mengantri, maklum jam sarapan tentu saja warungnya ramai. Setelah mendapat nasi dan tempat duduk Sambil makan, aku melontorkan sebuah pertanyaan. Udah berapa kali sampean maem disini ? sering..sampean ? Tanyamu.  masih dua kali iki maem pecel disini. Selesai makan bergegaslah kami menuju rumah tua itu untuk istirahat. Karena pukul setengah 1, dia akan merekam suaranya dan aku menjadi pengiringnya.
lagu happy brithday mengalun dengan indahnya. Lagu ini untuk temannya yang akan merayakan ulang tahun. Setelah dua jam berlalu selesai sudah rekaman ini. Kami kembali  kerumah tua itu, dengan wajah tampak loyo dan capek. Tiba-tiba Mendungpun menghitam dan butiran air hujan kelihatan akan segera jatuh. Ternyata benar apa yang kuduga hujan akhirnya membahasi pelataran rumah tua itu dan kamipun tertahan disitu. Jadi teringat lagunya Utopia Hujan.
Sembari menunggu hujan reda diapun bernyanyi beberapa lagu romantis dan lagi lagi aku jadi pengiringnya. Tak apalah jadi pengiring, berharap suatu saat menjadi pengiring hidupnya untuk yang lama, hahaha. Sesaat kemudian perut terasa lapar, dingin memang selalu menyebabkan rasa lapar lebih cepat dari biasanya.      

Masak mie aja ya (mau keluar beli makanan agak jauh ya gak mungkin dia pasti takut kebasahan).
Iyo cocok tik, sebelah rumah ada toko yang jualan mie, temenin yuk.
Akhirnya nekad dengan menggunakan payung gambar bunga warna coklat tua, kami membeli mie instan. Hujan tambah deras, suara petir ang menggelegar, ditambah satu payung berdua, semakin mirip FTV. Tak lupa kepalamu kau tempelkan di lenganku, untungnya lenganku fleksibel bisa untuk apa saja, janganku untuk bersandar kepala, untuk bersandar keluarga saja lenganku sudah kuat kok.

Tiba-tiba kau terpeleset, aduh, teriakmu. maklum hujan dan tentu licin.
Ndak apa apa kan ?
Ndak apa apa tik, dalane lunyu, jawab dia sambil memakai sandal yang terlepas.
Setelah membeli mie instan, kita memasak di dapur, begitu selesai Kita makan bareng bersama kakaknya diruang tamu. Hujan pun agak reda dia berkemas kemas untuk segera pulang.
sambil menggunakan jilbab dia bertanya..Lewat ngendi iki penake?, nek lewat dalan sing mau hujane urung terang, lihaten mundunge kulon sik putih (menandakan hujan). Sementara waktu hampir maghrib.           

Muter wae yo Nik, lewat etan karo ngenteni terang..dalam hati biar lama sama kamu dan berharap bisa hujan-hujan berdua lagi.
Memang Hujan tidak sederas yang kuharapkan, tapi yakin kenangan akan hujan ini akan selalu teringat. Nik, apakah sekarang tempatmu masih hujan???

Tulisan ini dibuat sambil mendengar lagunya utopia Hujan




Thursday 26 November 2015

Gunung Budheg

Untuk mencapai gunung budeg, tidaklah sulit, dari alun-alun Kota Tulungagung silahkan ke selatan, kira-kira 10 km, setelah itu silahkan bertanya pada warga sekitar. Hehe. Namun bila malam hari, anda tidak usah bertanya, dapat melihat lampu yang ada di gunung Budeg. Lampu itu seolah menunjukkan bahwa “ini lho yang kamu cari”.
Gunung Budeg memiliki dua jalur pendakian yakni lewat jalur selatan dan Utara. Kedua jalur ini memiliki keunikan masing-masing. Seperti  jalur Utara yang menawarkan goa Tritis, patung jogo budek, dan Puncak gunung Budeg. Jalur utara sudah mulai dilewati semenjak tahun 1979. Wisatawan pada saat itu tidak bertujuan untuk mencapai puncak gunung budek namun bertujuan untuk melakukan wisata sejarah di Goa tritis atau patung Jogo budek. Kedua tempat ini memiliki mitos yang diyakini hinggi sekarang. Meskipun berada pada lahan perhutani, jalur utara dikelola oleh Juri Kunci yang ditugaskan dari dinas Purbakala.

 
sedangkan jalur selatan menawarkan puncak gunung budeg. Sebelum mencapai puncak, wisatawan harus melakukan registrasi di pos  pendakian. Pos ini dikelola oleh LMDH Wono Yoso yang dibentuk pada tahun 2006. Jalur selatan memiliki fasilitas, kamar mandi, aula untuk 100 siswa dan tempat yang lapang, sehingga, meskipun jalur ini dibuka baru-baru saja namun sudah mampu menyedot wisatawan lebih banyak daripada jalur Utara.  Selain untuk wisata, juga sering digunakan untuk Diklat osis, PMR, Pramuka dan kegiatan sekolah yang berbasis edukasi. 


jalur selatan sudah melakukan kerjasama dalam pengelolaan sampah dengan Bank Sampah Wajak Kidul. Kerja sama itu berupa pengambilan sampah oleh bank Sampah. Ketika melakukan registrasi, wisatawan didata membawa barang apa saja yang potensi menjadi sampah. Bila saat kembali tidak membawa sampah sesuai yang didata akan dikenakan denda 50.000. hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga agar gunung budeg tetap bersih.
wisatawan yang akan melakukan pendakian lewat jalur ini akan dimintai pernyataan bahwasannya mereka tidak akan melakukan hal-hal yang mungkin akan berpotensi merusak alam seperti halnya menbuang sampah sembarangan ataupun melakukan penebangan terhadap pohon-pohon yang ada di hutan. Jika ada wisatawan yang melakukan hal tersebut akan di kenai denda yang besar, untuk pembuangan sampah sembarangan dikenai biaya denda Rp50.000 sedangkan penebangan pohon Rp 1.000.000.
Gunung budeg menawarkan melihat matahari tenggelam maupun matahari terbit. Demi untuk melihat matahari terbit banyak pengunjung yang datang pada malam hari, mereka menginap di sini. Bila wisatawan tidak memiliki tenda dan alat penginapan. Pos dijalur selatan menyediakan dengan system sewa. gunung budeg mulai dikenal wisatawan ramai pada tahun 2014. Puncak pengunjung biasanya saat musim penghujan karena saat itu langit sedang indah.  dengan biaya registrasi Rp 5.000 per orang. Biaya ini digunakan untuk pengelolaan, perawatan dan pembaruan sarana prasarana yang ada.





Foto diambil dari facebook. gunung budheg learning center

Kolaborasi Reog Ponorogo Cahaya Budaya di Diesnatalies SMA N 1 Ngunut



Awalnya sederhana, hanya mengenalkan reog ke mereka. Ah bukan, hanya mengajak mereka menari reog Ponorogo tepatnya. Kok bukan reog Tulungagung? Mungkin ada yg bertanya demikian. Bukan diskrimani atau tidak cinta produk lokal. Hanya kebetulan saya lebih ngerti reog Ponorogo dibanding reog Tulungagung.
Hari ini adalah hari terakhir kami bekerjasama untuk event ini, diesnatalies SMA N 1 Ngunut. meskipun tergolong baru, kami sudah melakukan beberapa kali kolaborasi tanpa ikatan tetap dengan kelompok lain. Mungkin ini yg terlama sekitar 2 bulan mulai proses hingga pementasan. Proses 2 bulan bukan dilalui dengan lancar-lancar saja, pasti ada dinamika mulai dari tari yang itu-itu saja, hingga jadwal latihan yang berbenturan dengan jadwal les, tambahan di sekolah atau malah jadwal kencan mereka. Untungnya kami sanggup menjalani hal tersebut.
Dalam waktu tersebut, sangat jarang saya mengajak mereka diskusi, ngobrol atau bercanda diluar jadwal latihan. Banyak hal yang dulu saya pegang, untuk Pementasan SMA ini saya serahkan pada Ebrin (biasa dipanggil pitik). Mulai dari proses negoisasi biaya hingga pementasan, sangat sedikit saya ikut campur. Begitupula untuk kekaryaan, kebetulan kita sudah punya karya yang hampir jadi, sehingga tinggal tambal sulam. 






Hingga tiba hari pementasan,  Ebrin masih memegang kendali dengan baik. Hal ini tentu tidak dapat dilalui sendiri, pasti ada dukungan dari pihak sekolah, penari, dan kru, kalian semua luar biasa. Hingga selesai pentas, kami sempat ngobrol basa-basi, sedikit curhat dan ucapan terima kasih.
 setelah pentas, saya kebetulan satu pikep dengan anak2 SmA tsb. Kami pun saling bercerita. Mulai dengan almamater yg sama hingga kisah asmara. Biasa, anak muda, selalu asmara untuk bumbunya. Semacam "realita cinta dan reog n roll". Yg menarik, ketika hampir sampai base camp, terlihat gurat kekecewaan di wajah mereka. Bahkan ada yg sempat berujar. Yah, sudah sampai, padahal ini terakhir kita bertemu. Seolah-olah sudah tidak ada waktu untuk besok, atau sedemikian kangennya mereka dengan saya ( hahahaa).
Bukankah setiap pertemuan pasti ada perpisahan? Mengutip salah satu kata seorang teman. "Pertemuan adalah perpisahan yg tertunda".
Selamat, kalian warbiasa. Sampai jumpa di event selanjutnya.

Monday 13 July 2015

LIMA BULAN


Dingin. Hawa dinginnya lebih dari kemarin. Sudah berkali-kali Marnu mencoba untuk bisa tidur, tetapi selalu tak berhasil. Jaket dan selimut yang menutupi tubuh Marnu serasa percuma. Tubuh Marnu menggigil. Kepalanya serasa dipalu-palu, pikirannya buram. Pandangan matanya makin kabur. Sesak, udara serasa kian sulit untuk dihirup.
Dengan susah payah Marnu mencoba meraih telepon genggamnya yang berada di lantai, persis di sebelah kasurnya yang tanpa dipan. Tidak sengaja tangan Marnu justru menyenggol cangkir berisikan sisa kopi semalam. Kopi tumpah seketika, membasahi tumpukan baju yang sudah dia setrika.
“Sialan!” ucap Marnu.
Kejadian tersebut membuat Marnu melek. Terjaga sepenuhnya, Marnu membuka selimutnya. Bangkit dari berbaring, ia duduk bersila di tepi kasur. Setelah sejenak melakukan pelemasan pinggang dan leher, tanpa memedulikan baju-bajunya yang basah, ia mengambil telepon genggamnya. Kali ini dengan mudah.
“Jam dua seperempat,” ujarnya kepada diri sendiri, hanya di batin.
Perut Marnu tiba-tiba terasa mual. Dengan perasaan malas, ia berdiri. Marnu berjalan terhuyung-huyung menuju kamar mandi. Langkahnya lunglai.
Marnu memuntahkan hampir seluruh isi perutnya di kakus. Setelah itu, sambil menyiram ia melihat pantulan wajahnya di cermin yang terpasang di tembok di atas kakus. Dalam hatinya, ia seperti melihat mayat hidup. Rambut acak-acakan. Kulit pucat pasi. Mata melorot sayu, dengan kantung mata hitam di bawahnya. Mengerikan!
Satu hal pasti yang menyebabkan Marnu tidak bisa tidur nyenyak, perutnya terasa mual dan wajahnya yang tampak mengerikan: Marnu kehabisan kokain.
Selepas keluar dari kamar mandi, Marnu memastikan sekali lagi stok kokain yang ia punya. Marnu merogoh-rogoh saku celana jeansnya yang tergantung di balik pintu kamar. Kosong. Lalu dipelototinya barang-barangnya di atas meja kecil di pojokan. Tak ada. Yang ada di sana hanyalah dompet dan secarik kertas lusuh yang berisikan daftar mingguan utang-utangnya kepada Asmuni, bandar narkoba kelas teri desa sebelah, serta jam tangan kesayangan Marnu, hadiah pemberian dari mantan pacarnya, Esti.
“Sialan!” teriak Marnu.
Frustasi, Marnu menendang tumpukan baju bernoda hitam akibat kopi yang ditumpahkannya tadi. Ia diambang ketakutan. Lebih dari itu, ia terancam oleh ketakutan terbesarnya: sakau.
Marnu memulai menjadi pecandu narkoba lima bulan yang lalu. Saat itu ia sedang mengembalikan buku-buku tentang ternak ayam petelur yang ia pinjam dari Sentot, teman SD-nya dulu, di rumah Sentot di desa sebelah. Kebetulan, Sentot sedang bersama Asmuni. Seketika itu pula tanpa basa-basi, Asmuni menunjukkan produk unggulannya kepada Marnu.
 “Apa itu? Terigu?” tanyanya pada Asmuni.
“Bodoh kau! Ini kokain,” potong Sentot.
Kemudian Asmuni menjelaskan kegunaan bubuk putih yang dibungkus plastik transparan berbentuk persegi panjang seukuran bungkus rokok tersebut kepada Marnu. Bubuk putih yang bisa membuat pikiran seseorang melayang, suasana hati menjadi riang gembira, dan rasa percaya diri meningkat. Asmuni menyodorkannya kepada Marnu. Marnu bergeming. Ragu.
“Buat pemula gratis kok,” ucap Asmuni.
Gratis. Kata yang paling disukai semua orang, termasuk Marnu. Dengan cepat ia menyambar bungkusan tersebut. Dilihatinya, lalu dicium-cium. Tidak berbau pikir Marnu.
Gimana cara pakainya?” tanyanya.
“Ah, gampang. Nanti kuajarkan,” jawab Sentot.
Ya, sejak saat itulah Marnu mengenal narkoba. Awal dari segala malapetaka yang menimpanya saat ini. Lima bulan ia terjerumus ke dalam lingkaran setan narkoba. Sudah lima bulan ia menjadi pecundang sejati, ditinggalkan kawan-kawan dan sahabat-sahabatnya, dikeluarkan dari perguruan tingginya karena ketahuan membawa narkoba, dikejar-kejar polisi saat penggrebekan pesta narkoba di emperan toko Cak Badrun malam-malam, dan yang paling menyayat hatinya, dicampakkan oleh satu-satunya wanita yang ia cintai di dunia ini, Esti. Dan selama lima bulan itulah ia dua kali mengalami sakau.
Marnu tidak ingin merasakan sakau yang ketiga kalinya. Momen yang bisa membuat kepalanya pecah serasa ditimpuk bongkahan batu beton, sekujur tubuhnya bagai ditusuk-tusuk jarum, dan perasaan bahwa malaikat maut siap mencabut nyawanya saat itu juga. Dihantui kemungkinan akan terjadi momen mengerikan tersebut dan sadar bahwa ia pun tidak memiliki uang sama sekali di dompetnya untuk membeli beberapa bungkus  kokain, Marnu berpikir keras.
Setelah beberapa menit, Marnu mempunyai ide cemerlang. Mencuri uang ibunya. Solusi termudah saat ini, mengingat ibunya baru kemarin lusa menang arisan. Karena kini ia tidak lagi bisa berhutang satu dua gram pada Asmuni. Hal itu bisa menjadi bumerang baginya, malah ditagih utang-utangnya yang menumpuk dahulu. Selain itu ia bisa dipukuli para preman kekar bawahan Asmuni.
Marnu keluar dari kamarnya. Menuju kamar ibunya, ia berjalan mengendap-endap.di kegelapan. Telinganya menangkap dengkur nafas kucing peliharaannya, batuk adiknya di kamar sebelah, suara jangkrik, dengung nyamuk, detak jantungnya sendiri, dan segala jenis keributan yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan. Ibunya tidak merapatkan pintu kamarnya. Terbuka sedikit, Marnu samar-samar menatap wajah ibunya yang memejamkan mata. Marnu mendorong pintu dengan ujung jari, dan engsel pintu mengeluarkan bunyi seperti rintihan, yang menembus dada dan tinggal di hatinya seperti gema yang membeku. Saat ia melangkah masuk dan berusaha tidak membuat keributan, langsung tercium olehnya wangi yang sangat ia kenal. Wangi minyak tawon yang keluar dari tubuh ibunya, yang biasa ibunya pakai sebelum tidur. Kakinya meraba-raba dalam gelap dan ia merasa menemukan arah yang benar menuju ke meja tempat dompet ibunya berada. Dengan lemah lembut tangannya membuka dompet tersebut, lalu menarik tiga lembar seratus ribuan. Ia menaruh dompet tersebut ke tempat semula dan membalikkan badannya untuk melangkah menuju ke luar kamar ibunya. Ia memegang gagang pintu kamar namun tidak menariknya. Ia mencondongkan badannya ke arah ibunya dan mendengar sesuatu. Nafas ibunya tidak seperti biasanya yang lambat dan teratur layaknya ketika ibunya tidur tadi. Rupanya ibunya terbangun dan tahu perbuatan apa yang baru saja Marnu lakukan. Ibunya mulai menangis sesenggukan, batuk kecil, lalu menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan keras. Pura-pura tidak tahu, Marnu bergegas ke luar kamar namun tetap menutup pintu dengan hati-hati.
Marnu berjalan perlahan menuju kamarnya sendiri. Di tengah jalan ia berhenti. Merenungkan tindakan yang baru saja ia lakukan. Tindakan yang berakibat untuk pertama kalinya ia mendengar suara tangisan ibunya.
“Sialan! Sialan!” Dengan berbisik, Marnu mengumpati kursi di sampingnya, mengumpati kucing peliharaannya, uang yang ia genggam, mengumpati apa saja benda yang ada di sekelilingnya.
“Ibu menangis, apa yang harus kulakukan sekarang?” gumamnya.
Sudah dua wanita yang pernah menangis akibat perbuatan Marnu. Dulu, tiga hari setelah Asmuni memberikannya kokain, Esti, kekasih Marnu, berada dalam kamarnya. Esti datang menghampiri Marnu karena sudah dua hari Marnu tak mengangkat satu pun dari belasan teleponnya dan tak membalas puluhan pesan singkat yang ia kirim.
Esti kaget bercampur resah saat mengetahui kekasihnya terkulai lemas di lantai kamar mandi. Dengan hati-hati ia mengangkat tubuh Marnu, ringan, mirip daun yang jatuh dari pohon. Tidak sulit bagi Esti memindahkannya ke atas kasur. Ia mengambil segelas air kemudian meminumkannya perlahan ke mulut Marnu, menenggaknya seteguk demi seteguk sampai habis.
“Mar,” ucap Esti di telinga Marnu. “Kau kenapa, Mar, sadarlah!” lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan pundak Marnu.
Marnu diam. Ia kesulitan untuk bisa sekedar menggerakkan bibirnya, apalagi untuk berbicara. Tenggorokannya basah, namun bibirnya kering. Esti menciumi Marnu di bibir, di pipi, di kening.
Setelah itu, sambil jongkok jari-jari lentik Esti dengan ahli memencet tombol di telepon genggamnya. “Aku telepon ambulans saja ya.”
Tiba-tiba mata Marnu melotot, tangannya dengan sigap dan cekatan meraih telepon genggam Esti. Ia matikan lalu disimpannya di sakunya saat itu juga.
“Jangan ceritakan pada siapa pun, Es!”
“Tapi kau sekarat!”
“Jangan khawatir, aku tidak apa-apa. Besok pasti sudah baik-baik saja.”
Kemudian Marnu bangkit secara perlahan dan duduk bersila menghadap kekasihnya. Dilihatnya wajah kekasihnya yang berparas cantik oriental. Senyum mengembang di bibir Marnu. Ia mengambil toples kecil berisikan bubuk putih dan menunjukkannya pada Esti. Marnu memberitahu Esti bahwa benda inilah yang menyebabkannya menjadi tergolek lemah tak berdaya seperti ikan gurami yang terpancing lantas mati karena jauh dari air.
“Apa itu? Bedak?”
“Ini narkoba, Sayang. Kokain.”
Esti terperanjat mendengarnya. Matanya membelalak. Pukulan keras bagi pendengarannya saat itu. Hatinya gelisah sekaligus kalut. Tubuhnya merinding tanpa ia kehendaki dan jatuh terduduk.
“Itu, dilarang kan?” tanya Esti dengan terbata-bata.
“Benar. Tapi ini cuma coba-coba kok. Lagipula ini dikasih sama teman.” ucap Marnu. “Aku tak akan terus-terusan pakai yang begini, Sayang. Tak mungkin lah.” lanjutnya.
Esti diam saja mendengar jawaban itu. Ia tidak seratus persen memercayai ucapan kekasihnya, namun ia juga berharap semoga yang dikatakannya benar. Ia memegang tangan Marnu dengan lembut, lalu membelai wajahnya.
“Kau lapar? Aku bisa memasakkan sesuatu untukmu,” tawar Esti.
Marnu menggeleng.
Dengan penuh kasih, Esti menyarankan kekasihnya itu supaya beristirahat saja. Marnu mengangguk. Sebelum meninggalkan kamar, diciuminya wajah Marnu di bibir, di pipi, di kening.
Tiga bulan setelah kejadian itu, Esti datang lagi. Kali ini Marnu sengaja menyuruhnya datang. Dalam percakapan di telepon, ia meminta Esti untuk menemaninya malam ini dan dengan perasaan penuh gelora cinta dan gairah membara seorang wanita muda, Esti menyatakan kesediaannya.
Rupanya Marnu mengajak kekasihnya menginap bukan untuk bercinta, atau membelai tubuhnya yang haus akan dahaga kasih sayang, atau hanya sekedar mengumbar pembicaraan mesum yang berujung pada ciuman. Marnu pusing, tak sanggup untuk berjalan menemui Esti. Pusing karena efek kokain yang dihirupnya hampir setiap hari, selain itu pusing sebab ia tak memiliki uang sepeser pun untuk membeli beberapa bungkus kokain lagi.
“Kokainku habis, Sayang. Uangku juga. Boleh aku pinjam uangmu?” ucap Marnu sambil menggenggam kedua tangan Esti yang selembut sutra. “Tiga ratus ribu saja, hutangku pada Asmuni belum lunas,” lanjutnya dengan nada manja, merayu-rayu Esti.
Esti melepaskan genggaman kekasihnya. “Tak akan, Mar!” teriaknya. “Berkali-kali kau bilang dulu tak akan pakai lagi benda busuk itu. Sekarang kau terjerumus ke dalam sampah narkoba, Mar! Kau akan menyeretku juga? Dengan memberi uang untuk kau gunakan pada sesuatu yang menyengsarakan hidupmu sendiri, sama saja aku terlibat. Tak akan pernah kupinjami kau serupiah pun!” lanjutnya. Gairah Esti menghilang, berganti dengan amarah.
Marnu diam seribu bahasa. Ia menunduk, keheningan mengalir di dalam ruangan pengap itu selama beberapa detik.
“Asmuni kan? Setelah ini kau akan menghampiri bocah sinting itu? Untuk apa, Mar? Berhutang lagi?” cerca Esti. Ia tidak membiarkan kekasihnya menjawab barang satu patah kata pun. “Kau sudah gila, Mar, lihat saja penampilanmu. Lusuh. Mirip dengan gelandangan di Pasar Senen.”
Marnu mematung. Tak berani ia menggerakkan tubuhnya sedikit pun. Sikapnya persis seperti saat almarhum ayahnya yang memarahi dan menceramahinya, setelah mendapat aduan dari Wak Tami, tetangga sebelah, gara-gara meninju anaknya yang masih 8 tahun, waktu jaman SMP dulu.
“Sampai kapan kau akan seperti ini, Mar? Kapan kau akan berubah?” tanya Esti dengan penuh harap.
Marnu mencoba berbicara. “Tak usah kau menjawab pertanyaanku!” sentak Esti saat Marnu baru akan membuka mulutnya. “Sudah sering kau berjanji padaku, Mar. Akan berhenti, akan berubah, akan bangkit. Kau sama saja dengan para pembohong yang ada di televisi-televisi keparat itu. Palsu semuanya!”
Esti mulai meneteskan air mata, sayup-sayup terdengar isak tangisnya dan menutup mukanya dengan kedua tangan. Dengan perasaan bersalah, Marnu beringsut menghampiri ke samping kekasihnya. Dilihatnya leher bagian belakang Esti yang seputih bulu angsa, lalu mencoba menenangkannya dengan menjulurkan tangannya untuk memeluk pundak Esti. Tak Marnu duga, Esti justru menepis juluran tangan Marnu. Esti bergerak menjauh.
“Tak perlu kau menyentuhku, takkan kubiarkan tanganmu yang bau bubuk setan sialan itu menyentuh tubuhku lagi!” ucapnya sambil sesenggukan. “Aku rindu Marnu yang dulu, sebelum terperosok ke jurang narkoba. Aku rindu Marnu yang dulu, yang berpestasi di kelasnya. Yang suka membaca, pintar bercerita, selalu ceria dan disukai semua orang. Marnu yang selalu datang saat aku berada di bawah. Menjemputku, meniupkan kehidupan baru ke dalam nafasku. Marnu yang selalu optimis, menjadi kekasih, sahabat, sekaligus mentorku. Aku rindu Marnu yang seperti itu. Sekarang, kemana dia? Pergi kemana? Hilangkah?” tangis Esti makin menjadi-jadi.
Kalimat-kalimat yang dikeluarkan Esti sangat mengiris hati Marnu. Ia luluh, ikut menangis tersedu-sedu. “Maafkan aku, Es,” katanya dengan suara lirih.
“Maaf? Hanya itu yang bisa kau katakan?” balas Esti. “Sudah terlambat, Mar. Apakah kau tidak melihat teman-temanmu menghindarimu gara-gara kau bergaul dengan si goblok Asmuni? Apa kau menyadari bahwa kau diambang terusir dari perguruan tinggimu? Hanya menunggu panggilan rektor, Mar, selesai sudah nasib baikmu. Dan apa kau memahami bila terus-terusan kau melanjutkan hal buruk ini, bukan saja kau mendapat masalah-masalah lainnya, namun kau bisa masuk penjara!”
Marnu membayangkan jika itu terjadi di kemudian hari. Penjara. Tempat terakhir yang Marnu inginkan ia berada di belahan manapun di dunia ini.
“Tidak cukup dengan itu, Mar, kau bisa saja terperangkap di ranjang rumah sakit. Di ruang yang sunyi, dimana tak ada seorang pun yang akan menjengukmu barang sedetik pun! Sendirian. Tetapi, lebih dari itu, Mar, yang paling aku takutkan, kau mungkin berakhir di kuburan. Saat itu sudah terlambat semuanya. Ya, kau tahu, Mar? Mati!”
Tidak sedikit pun Marnu menyangka kekasihnya akan berkata seperti itu, dan tak secuil pun ia berharap berakhir dengan kematian akibat narkoba. Ia masih muda, masa depan terbentang luas di hadapannya. Namun keadaan berkata lain.
“Kupikir, aku juga akan meninggalkanmu, Mar. Aku akan kembali padamu suatu hari. Tidak bila kau belum berubah. Maka segeralah berhenti, karena bila kau tak bergegas meninggalkan narkoba hina itu, dan aku sudah berpaling ke pria lain, habis sudah harapanmu terhadapku!” Esti berdiri, menatap mata Marnu untuk terakhir kalinya, kemudian beranjak pergi dan tak pernah kembali lagi.
Marnu bimbang, terpaku berdiri memegang uang yang baru saja ia curi dari dompet ibunya, entah mengapa pikiran Marnu justru melayang mengingat-ingat kisahnya dengan mantan kekasihnya itu.
“Mungkin karena tangisan wanita,” gumamnya.
Dan dua bulan setelah ditinggalkan kekasihnya, atau lima bulan setelah pertama kalinya ia mengenal narkoba, kini, ia benar-benar kebingungan. Jika ia melanjutkan langkahnya, maka ia bisa menemui Asmuni dan bertransaksi kokain lagi. Itu berarti ia melanjutkan kebiasaan lamanya menghirup kokain, bersenang-senang sendiri dengan nikmat halusinasi yang memikat. Tentu saja ia bisa menghindari sakau, hal yang paling ditakutinya melebihi saat ditinggalkan kawan-kawannya, melebihi ketakutannya saat dikejar-kejar polisi, atau saat dicampakkan oleh satu-satunya wanita yang ia cintai di dunia ini, Esti.
Di sisi lain, ia juga mempertimbangkan untuk mengembalikan uang yang ia genggam. Selain dapat menghapus air mata ibunya, ia selangkah mendekat keluar dari neraka candu narkoba. Namun ia tidak bisa menghindari sakau yang perlahan mendatangi tubuhnya.
Bimbang, kepalanya berat, pikirannya kacau. “Aku harus bagaimana, Es? Aku membutuhkanmu untuk keluar dari semua ini,” katanya dalam hati. Sudah terlambat ia membutuhkan Esti, kekasihnya yang sudah tak lagi di sisinya.
“Bagaimana justru jika aku menyerahkan diri ke polisi? Saat ini juga. Atau pergi ke panti rehabilitasi? Atau ke mana saja asal itu bisa mengembalikan hidupku ke sedia kala! Sekarang, apa yang harus kulakukan, Es?”
Marnu berdiri mematung di antara kamarnya dan kamar ibunya, mematung di antara kegelisahan hidupnya yang hancur lebur dan bayang-bayang semu kenikmatan sesaat. Marnu terperangkap. Terperangkap di rumahnya sendiri, terperangkap dalam pikiran-pikirannya sendiri, dan terperangkap dalam lingkaran setan narkoba, benda terkutuk yang menjauhkannya dari kekasihnya, satu-satunya wanita yang ia cintai di dunia ini, Esti.

Rhugandanu N. Jember, 21 Juni 2015

Monday 18 May 2015

Kulon Kutho Tulungagung

Kulon kutho Tulungagung
saiki
Banyune mili mangidul
pratondo
Sirnaning bebaya banjir

tanduran tetukulan
bakal biso anglilir
tegal sawahe tikel pametune
biyen karan rowo
saiki dadi kutho


Thursday 7 May 2015

JJJ di hari tari Dunia



Kali ini saya akan bercerita mengenai pertunjukan Hari tari sedunia ke 9 yang diperingati tiap tanggal 29 April. Hari itu saya melihat pagelaran tersebut bersama rekan JJJ (Jomblo Jalan-jalan) yaitu Maman, Imam, Bang Rembol. Saya akan sedikit menceritakan perjalan kita menuju Solo. Kita berangkat dari Tulungagung pada pukul 22.30. Saya membonceng mas Rembol sedangkan Maman membonceng Imam. Kita memilih makan didaerah Nganjuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Solo. Di tengah perjalan tepatnya di kabupaten Ngawi motor Imam mengalami ban bocor (01.30) terpaksa perjalanan di tunda selama 1,5 jam untuk perbaikan ban. Ahkirnya perbaikan selesai, kita lanjutkan perjalanan menuju Sragen. Tiba di Sragen pada pukul 04.00 dan beristirahat di SPBU yang feel like home banget, yup, tidur.  Setelah kita cukup istirahat lanjut lagi perjalanan pada pukul 06.30.
Kita harus melewati satu kabupaten lagi untuk menuju Solo yaitu kabupaten Karanganyar. Setelah 1,5 jam kita tibalah di Solo (08.00). Disana kita bertemu dengan Mas Jendot salah satu teman bang Rembol. Kita menuju di kosnya mas Jendot untuk tidur, karena capek setelah perjalanan jauh. Nah dirasa cukup beristirahat kita mandi, berdandan rapi,pake minyak wangi untuk menuju ISI Surakarta.
 Disana kita melihat berbagai tarian yang dimiliki negeri ini. Salah satunya tarian dari Bandung yang dilaksanakan di pendopo ISI dan itu membuat saya kagum melihatnya. Selain itu saya juga melihat tarian yang tak kalah kerennya. Ada 4 penari yang terus menerus menari, ahkirnya saya penasaran kenapa orang 4 itu terus menari ? Oh ternyata orang2 tersebut ingin memecahkan rekor Muri, menari selama 24 jam nonstop. Setelah melihat tarian, kita berempat dengan ditemani mas jendot menuju gedung teater besar ISI Surakarta.
Baru pertama ini saya melihat pertunjukan teater secara langsung. Sungguh membuat saya terkagum kagum dengan aksi tersebut yang kebanyakan dimainkan oleh para pelajar SMP,SMA dan Mahasiswa. Setelah melihat teater besar kita melihat lagi aksi tari di gedung teater kecil, tetapi saya kurang tertarik dengan aksi yang ada digedung tersebut, kita bergegas keluar. Melihat tarian yang digelar dihalaman samping gedung teater besar. Disitu kita melihat juga tarian yang ada diberbagai wilayah di Indonesia. Salah satunya adalah tarian yang berasal dari tegal. Saya kurang tahu apa nama tarian itu tapi yang jelas dari sekian banyak tarian yang digelar dihalaman gedung teater besar, tarian tersebut membuat saya sangat kagum lagi. Waw memang keren indonesia itu.
Akhirnya, pada pukul 04.30 kita melihat tarian yang bernama tari ganongan yang berasal dari Ponorogo. Tak mau kalah dengan lainnya tari ganongan tersebut menunjukman kebolehannya dengan mempertunjukkan atraksi para pemainnya. Tarian ini sangat membius penonton. Setelah seharian kita melihat banyak tarian akhirnya kita menuju ke kosnya mas jendot untuk beristirahat dan mandi. Nah setelah selesai semuanya kita bergegas ke SMK Negeri 8 Surakarta atau SMKI (Sekolah Menengah Kesenian Indonesia). Sekolah tersebut adalah sekolah Seni seperti halnya ISI namun tingkat SLTA. Disana saya bertemu Agil (tetangga saya yang bersekolah di SMKI) dan para seniman salah satunya yang bernama mas Apit (pembarong reog) dan banyak lagi. Dalam pagelaran ini SMKI juga tidak kalah dengan ISI Surakarta dalam merayakan hari tari sedunia tersebut. Mereka mempertunjukkan tarian Indonesia yang dimainkan oleh para siswa, salah satunya reog Ponorogo. Para siswa membawakan tarian ini sungguh menarik bagi saya. Dia mempunyai kualitas tari yang bagus. Setelah reog tersebut selesai kita kembali ke kos.
Ditengah perjalanan tiba2 hujan, dan akhirnya terpaksa kita berteduh disebuah warung makan yang menjual masakan bernama "Nasi liwet". Wah ternyata rasanya mantebbb banar (kata orang banjar). Memang nasi liwet sulit dijumpai didaerah lain karena makanan ini adalah makanan raja keraton Solo (katanya) sambil membayangkan jadi Raja Solo semalam.  Selesai makan kita kembali ke ISI. Disana kita melihat pertunjukan Tari lagi. Dari sekian banyak aksi kelompok tari yang saya suka, mungkin semua pernah mendengar yang namanya tari Saman dari Sumatera. Wawww saya tidak bisa bercerita tentang ini, hanya satu kata untuk tari ini "amazing". Kekompokan gerakan adalah salah satu daya tarik tari ini. Sekedar info gaes, tau enggak kalau tari saman sudah banyak dimainkan negara di dunia. Sudah saatnya kita bangga memiliki tari ini.
Setelah kita melihat tari saatnya kita kembali ke kos untuk tidur. Singkat cerita, keesokan harinya kita berempat pulang. Pukul 10.00 kita begegas pulang. 2 jam telah berlalu. Nah ini yang menarik, secara tidak sengaja waktu perjalanan bang Rembol Membaca petunjuk arah yang bertuliskan "Astana giribangung". Wah ini adalah kompleks pemakaman raja keraton solo ! Kata bang Rembol. Diantaranya disana telah dimakamkan presiden ke 2 Indonesia H.Muhammad Soeharto atau sering kita sapa pak Harto. Ahkirnya kita memilih untuk Sowan (b.jawa) kesana. Baru pertama itu saya dan teman2 sowan kesana. Disana banyak pedagang kecil yang menjual aneka baju kas kompleks Astana giribangun. Sebelum kita memasuki area pemakaman kita diwajibkan mengisi daftar pengunjung dan membayar seihklasnya. Ahkirnya kita memasuki area pemakaman dan masuk ke ruangan yang didalam nya terdapat makam pak harto,ibu tien (istri pak harto),Bapak dari ibu tien, ibu dari ibu tien,dan kakak ibu tien. Kelima makam tersebut bersandingan. Didalam ruangan itu kita berdoa dan meminta petunjuk kepada Allah SWT dan mendoakan ahli kubur. Setelah selesai berdoa kita meninggalkan ruangan. Kemudian kita melanjutkan ke makam raja2 keraton Solo yaitu Astana mangadeg.
Kami juga mengisi daftar pengunjung serta memlbayar seihklasnya. Butuh waktu setengah jam untuk sampai di kompleks pemakaman pemimpin kerajaan Solo tersebut. Kita mulai memasuki kompleks pemakaman. Disana kita dipandu oleh seorang kuncen bagaimana tatacara untuk berziarah. Sebelum masuk Kita dianjurkan untuk jalan jongkok untuk menghormati ahli kubur. Kita diruangan itu berdoa sama halnya dengan pada saat kita di makam pak harto. Setelah selesai kita akhirnya kembali melanjutkan perjalanan. 

Astana Giri Bangun

Satu jam berlalu kita tiba disebuah pegunungan yang bernama Cemoro Sewu. Waw lagi2 saya kagum dengan pemandangan pegunungan cemoro sewu, bukit yang indah, dilebati oleh pohon cemara, serta kabut awan yang terbang rendah, wah serasa di negeri atas awan, subhanallah, saya tak bisa berkata apa2 selain bisa menatapnya. Disana kita (saya,Imam,Maman dan bang Rembol) berhenti sejenak untuk beristirahat sambil minum kopi. Sehabis itu kita lanjut perjalanan lagi.
Tiba2 ditengah jalan Kita bertemu cewek ditepi jalan yang sedang berfoto dengan temannya. Akhirnya kita berhenti menyapa cewek2 itu. Akhirnya kita mengajak berfoto dengan cewek tersebut sayang dia tidak mau hahahaha.  Lupakan itu, kita kembali meneruskan perjalanan. Kita lagi2 tidak sengaja membaca petunjuk arah yang bertulisakan "Telaga Sarangan". Akhirnya kita tunda perjalanan lagi untuk sejenak melihat keindahan telaga sarangan. Kita masuk ke telaga sarangan tidak membayar tiket alias gratis, karena semua tau kalau kita ini orang keren, jadi wajarlah kalau ga bayar...hahaha. Emang indah ternyata telaga sarangan itu. Banyak sekali orang berpacaran,memancing dan orang naik kuda,perahu boat yang disewakan. Khusus untuk perahu boat disewakan 60rb per satu putaran. Akhirnya karena hari mulai malam kita harus melanjutkan perjalanan pulang.
 Sampailah kita di salah satu warung makan di Magetan disana kita bertemu dengan anggota kepolisian. Beliau bercerita kalau asli kediri dan Bercerita panjang lebar dengan kita berempat. Setelah adzan maghrib akhirnya kita melanjutkan perjalanan lagi. Sampai di Ponorogo kita makan nasi pecel khas ponorogo, sambil menunggu hujan reda. Setelah hujan reda mulai lagi perjalanan. Tiba tiba disalah satu jalan yang ada di kecamatan sawoo jalan macet dikarenakan ada perbaikan jalan, kita macet skitar 30 menit. Setelah 2 jam kita akhirnya tibalah di rumah masing masing dengan baju yang basah kuyub.
 Setelah saya melihat hari tari sedunia serta jalan jalan ke Solo dan sekitarnya banyak pelajaran yang saya dapatkan antara lain saya lebih tahu tentang tari yang ada di negeri tercinta ini, mendapatkan referensi baru, saya lebih mengerti tentang rasanya menjadi anak kos, dan masih banyak lagi pengalaman yang saya dapat. Nah itulah sekilas cerita saya tentang perjalanan ke Solo dan sekitarnya melihat Hari tari sedunia yang ke 9.

Penulis: Gibrellyn L Steaa