Baik dari bupati-bupati lama, dari
keluarga Pringgokoesoemo maupun dari masyarakat Tulungagung sendiri
timbul suatu kepercayaan, bahwa pusaka kyai Upas adalah pusaka bertuah
penolak banjir dan penjaga ketentraman bagi daerah kabupaten
Tulungagung. Tidak sedikit cerita – cerita mengenai hal ini diantaranya :
I. Waktu R.M. Moesono masih kanak-kanak
dan berkumpul serumah dengan eyangnya putri Pringgokoesoemo, pernah
diberi keterangan, bahwa sebelum tahun 1895 Tulungagung pernah mengalami
banjir besar sampai air masuk ke alun-alun dan rumah Kabupaten. Pada
waktu itu pusaka Kyai Upas tidak berada di Tulungagung melainkan dibawa
oleh R. Pringgokoesoemo ketika masih menjabat Wedono di Pare (Kediri).
Masyarakat mempunyai kepercayaan bilamana pusaka Kyai Upas dibawa
kembali ke Tulungagung, air bah akan hilang. Pendapat itu ternyata
benar, dengan pembuktian ketika R. Pringgokoesoemo Wedono Pare diangkat
oleh Pemerintah Belanda menjadi Bupati Tulungagung dan pusaka Kyai Upas
ikut di boyong maka ternyata banjir Tulungagung sangat berkurang.
Pada tahun 1942 Kabupaten Tulungagung tertimpa bahaya banjir yang luar biasa sampai terciptakan lagu “Oh nasib Tulungagung”.
Pusaka Kyai Upas pada waktu itu dijaga
tidak berada di Tulungagung karena dibawa ke Surabaya untuk pengayoman
dengan tujuan bilamana tentara sampai masuk ke kota Surabaya janganlah
sampai timbul pertumpahan darah dan keadaanya lekas menjadi aman.
Timbullah suatu rabaan dari P.A Sosrodiningrat banjirnya Tulungagung dikarenakan pusaka daerah selang tidak berada di tempatnya.
Dengan segera beliau pergi ke Surabaya untuk mengambilnya.
Pusaka itu ditaruhnya didalam mobil
tetapi mengingat penjangnya landean terpaksa sampai mengorbankan memecah
kaca mobil bagian muka dan belakang.
Setelah pusaka kembali ke Tulungagung, maka air menjadi surut.
No comments:
Post a Comment