Tuesday 11 April 2017

Nyadran

Oleh : mahapatih egal egol
Sadranan, atau biasa disebut dengan nyadran bagi orang Jawa. Sadranan sendiri yang penulis pernah ketahui, dilaksanakan di area pundhen makam dengan menggelar tikar sebagai alas. Selain itu juga disertai dengan sesajen yang diwadahi tampah, loyang, dan ember seperti: gunungan nasi kuning, apem, ayam yang diolah ingkungan, kulupan, sambal goreng kentang, tahu yang dibumbui, dan air putih yang dimasukin dalam wadah kendhi. Pelaksanaan nyadran sendiri pada waktu pagi hari, atau sore hari, adapun siang hari tapi pelaksanaannya jarang, dan dipimpin oleh dukun atau tokoh masyarakat setempat yang biasanya dibawa oleh orang penyadran. Di dalam pelaksanaan sadranan, warga setempat juga turut diundang sebagai makmum (peserta sadranan).
Nyadran adalah tradisi yang dilakukan pada bulan Ruwah atau Sya’ban. Pada zaman sebelum Islam, upacara ini diselenggarakan untuk memuja roh para leluhur, selaras Animisme-Dinamisme yang menjadi model kepercayaan masyarakat saat itu. Namun pada saat sekarang, tradisi ini mengalami pergeseran makna dan bentuk, yakni dari pemujaan terhadap roh menjadi ritual untuk menunjukkan bakti seorang anak kepada orangtua. Hal yang menjadi alasan mengapa orang Jawa melakukannya setiap bulan Sya’ban, karena bulan tersebut bulan yang tepat (Sri HIdayati, 2003:2-3). Tradisi budaya nyadran dengan adanya perjalanan waktu, dilaksanakan tidak hanya pada bulan Sy’ban maupun Ruwah, melainkan saat-saat akan diadakannya hajatan pada suatu warga, seperti halnya hajatan pernikahan, pendirian rumah, maupun ruwatan. Bahkan saat menjelang bulan Ramadhan tiba, para warga mengadakan slametan di masjid, mushola, atau makam.
Menurut Bapak Sukriston, arti dari nyadran adalah nyadran, ungkapan rasa syukur atas berkah yang diterima lumantar CiptaanNya, Bumi-Geni-Angin-Lintang-Rembulan-Air-Kayu-Watu dan lain sebagainya, serta memuji kemuliaan bagi arwah pinuji yang telah nyata berjasa, berjuang mengembangkan budi pekerti luhur, berjasa membuka cikal bakal cepuren, desa, wilayah, pejuang kemerdekaan suatu bangsa. Nyadran, menciptakan harmoni hubungan manusia dengan Tuhan, Manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam. Nyadran menjadi modal sosial dan kearifan lokal, Nyadran adalah menyebarkan 'etika' dalam bungkusan estetika tentang kemanusiaan yang adil dan beradap, Manusia berTuhan (Wawancara, 17 Juli 2013).
Sadranan utawa nyadran yakuwi rangkean kegiatan keagamaan sing wis dadi tradisi sing dilakoni nang wulan Syakban (Ruwah) menjelang wulan Ramadhan (Puasa). Tradisi Sadranan wis umum dilakoni masyarakat muslim Asia Tenggara ning kadang beda jeneng karo beda rangkean kegiatane. Masyarakat Jawa, termasuk juga masyarakat Banyumasan ngelakoni tradisi kiye sebagai penghormatan maring arwah leluhur, kerabat/sedulur. Jaman gemiyen acara sadranan dilakoni kanggo pemujaan maring leluhur uga njaluk maring arwah leluhur, sebab dipercaya nek arwah leluhur sing wis meninggal kuwe jane esih urip bareng nang dunia kiye. Upacara sadranan jaman gemiyen nganggo ubarampe sing isine sesajen panganan-panganan sing ora enak dipangan contone: daging mentah, getih ayam, kluwak. Bar Agama Islam melebu, para Wali ngerobah upacara sadranan kiye kanthi cara alus ben pada karo ajaran Islam. Pemujaan karo permohonan maring leluhur dirobah dadi dhonga maring Gusti Allah. Sesajen sing ora enak dipangan diganti dadi sajian panganan sing enak. Upacara sing gemiyen dianakna nang kuburan terus dipindah nang Masjid utawaMushalla/Langgar uga bisa nang omah kerabat sesepuh/pinisepuh (http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Sadranan).
Nyadran merupakan istilah dari tradisi kebudayaan yang berada di tanah Jawa. Nyadran identik dengan upacara kematian, slametan yang ditujukan kepada leluhur. Khasanah kekayaan tradisi yang dimiliki oleh orang Jawa memang bersumber dari warisan leluhurnya, dan dipercayai akan membawa nilai-nilai makna tersendiri bagi yang melaksanakan tradisi tersebut. Seiring Islam merajai tanah Jawa terjadilah akulturasi antara nilai-nilai Islam dengan

2 comments: